Tuesday, June 3, 2008

Menjual Mimpi di Negeri Omong Kosong

Hidup Layak dan Normal

Sejak sering di rumah (kost), saya jadi sering menonton TV. Dari pagi hingga malam dan pagi lagi. Dari channel luar negeri, lokal, dan berbayar. Dari milis satu ke milis lain, dari kompas.com hingga detik.com. Semua bercerita tentang sebuah negeri yang sama bernama Indonesia. Sebuah negeri yang "katanya" sejahtera, merdeka, dan kaya-raya. Tapi penuh dengan derita, sengsara, nestapa, hingga pertikaian yang menyeramkan.

Setiap hari (setiap hari!) di hampir semua pemberitaan isinya cuma kekerasaan, pembantaian, kerusuhan, dan segala macam krisis yang siap menerkam kita semua di mana saja bahkan saat kita sedang tidur. Media pemberitaan berlomba-lomba menyapaikan berita yang paling menyeramkan pembaca atau pemirsanya. Makin tragis.. makin merasa laku dan rating tinggi. Makin berdarah-darah, makin punya tempat di hati pemirsanya.

Bagaimana dengan pemerintah dalam mengendalikan ini? Rasanya tidak mampu. Pemerintah masih asik berhitung dan berhitung akan dompetnya, pendapatan pajaknya, tagihan hutangnya, dan menerka-nerka siapa saja pejabatnya yang melarikan uangnya. Sementara itu makin masyarakat terus bertikai, masyarakat menengah ke bawah. Masyarakat atas.. tetap menjalankan hidup dengan normal-normal saja, belanja, beli bensin, shopping, jalan-jalan keluar negeri dst.

Rasanya wajar jika masyarakat level atas itu hidup dengan normal mengingat pendapatan yang mereka punya itu jauh dari kebutuhan kesehariannya. Namun menjadi tidak wajar jika kondisi tersebut menjadi keseharian para wakil-wakil rakyat. Ironis jika sebagai wakil rakyat tidak menunjukkan sikap prihatin dari kehidupan yang prihatin ini.

Menjual Harapan, Mimpi, dan Drama

Mayoritas masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan ini ternyata menjadi inspirasi bagi beberapa pihak untuk meraup keuntungan. Secara konsep marketing sikap ini adalah sikap jeli melihat peluang pasar, ya.. pasar yang sedang menderita dan siap mati lemas. Tapi, bisnis tidak memandang itu rupanya. Setiap hari kita sering sekali melihat IKLAN SMS untuk REG < spasi > dan seterusnya dari mulai sms kencan, sms cinta, sms perbaiki nasib, sms membaca tanggal lahir dst dst.

Dalam kasus ini, kita bisa melihat ada dua hal penting yang krusial, yaitu masalah ekonomi dan pendidikan. Agak sulit untuk bisa diterima dengan akal sehat jika perbaikan nasib kita itu bisa berubah hanya lewat SMS. Tapi ini menjelaskan bagaimana bangsa kita itu memang rendah tingkat pendidikannya. Hidup sulit dan mencekik ternyata menjadi mimpi buruk semua orang, dengan berharap mukjizat ya mereka iseng-iseng kirim SMS perbaikan nasib tersebut. Sayangnya mereka lupa kalau pulsa mereka itu dibeli dengan uangnya yang pas-pas-an.

Selain SMS, ada pula program TV yang jelas-jelas menjual mimpi. Mimpi menjadi artis, mimpi menjadi orang terkenal, menjadi anak teridola, anak terpandai berdakwah, dan seterusnya. Mereka tidak sadar kalau mereka-mereka itu hanya dijadikan OBYEK para station untuk meraup uang sposor dan komisi SMS. Fenomena menggunakan orang biasa sebagai talent di TV jelas mengurangi budget produksi. Jika dulu musti memakai talent fee, sekarang malah talent bonus jadi menggunakan talent-nya gratis tapi malah dapat uang.

TV cukup membuat program yang menyentuh, yup! menyentuh ibu-ibu rumah tangga dan pembantu.. karena mereka adalah pemirsa mayoritas secara jumlah penonton dan jumlah jam nonton yang dihabiskan. Dengan musik mendayu-dayu, dengan menampilkan adegan-adegan haru, dengan memunculkan anak atau orang tua yang miris, menampilkan orang cacat dst. Hanya demi jualan.. jualan TV terhadap sponsor.

Belum lagi sinetron, sudah banyak yang mengulas masalah ini tapi apa daya.. market demand lebih menjadi kendali bagi TV station untuk menjaga keberadaan sinetron di channel mereka. Kehidupan sinetron hanya kehidupan MIMPI, kehidupan andai-andai, dengan kata lain kehidupan DRAMA. Setiap kali kita menyaksikan sinetron, semua menampilkan sebuah konflik yang overated, berlebihan, dan terlalu dibesar-besarkan. Bagaimana seorang anak harus menghardik ibunya, bagaimana ayah membanting dan menampar anaknya, bagaimana kakak menyiksa adiknya, dst. Yang semua itu sudah menjadi rumus rating. Coba saja ajukan cerita sinetron yang baik-baik dan normatif.

Masyarakat kita sudah menjadi masyarakat drama, masyarakat yang kesehariannya sudah akrab dengan dunia drama di televisi. Kamera TV belakangan sudah akrab dengan keseharian masyarakat. Mereka sudah tidak lagi (berlebihan) jika di shoot oleh kamera, bahkan mereka sudah terbiasa untuk pura-pura acting! Ya.. ini lah drama!. Masyarakat nampaknya mulai menikmati bagaimana rasanya exist dan menjadi perhatian banyak orang. Selain meningkatkan adrenalin juga melatih rasa percaya diri mereka, sayangnya ini bukan menjurus ke hal produktif tapi malah kontra-produktif.

Di beberapa tayangan berita, kita sering melihat bagaimana masyarakat jika tahu sedang di shoot kamera maka mereka akan bertindak over-acting. Polisi saat menangkap sang tersangka pun terlihat jadi lebih gagah. Masyarakat saat membakar sebuah mesjid achmadiyah terlihat nampak lebih heroik. Bagaimana saat maling ditangkap semua orang di dalam kamera ingin terlihat pemberani. Celakanya, ini pun terjadi di para pejabat, ketika tahu media meliput kalau bisa mereka jualan pesona di sana.

Menuai Kebodohan dan Kemiskinan

Kita semua hidup di dalam keprihatinan, hidup krisis, dan keterbatasan. Ini punya dampak besar di kemudian hari. Kondisi yang ringkih ini nampaknya tidak terperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah sedang asik dan sibuk mempersiapkan cara-cara, strategi, dan trik-trik untuk menghadapi PEMILU 2009. Bagaimana cara memperdaya masyarakat dengan janji-janji dan gombal-gombal mautnya. Masyarakat miskin merupakan masyarakat yang mudah untuk di stir. Saat dia benci tinggal kasih duit mereka akan cinta. Ironis.. sikap seperti demikian seharusnya dihapuskan, kenyataanya malah hidup subur di negeri ini. Masyarakat nampaknya sedang dipupuk agar tetap menjadi bodoh dan tidak kritis, sementara mahasiswa justru digosok agar nampak kritis tapi diarahkan kepada cara-cara yang vandal dan destruktif. Cara ini cukup efisien untuk membelah kekuatan antara mahasiswa dengan masyarakat. Sementara masyarakat tetap hidup normal dalam kebodohannya. Bodoh merupakan kata yang kasar. Bodoh di sini merupakan sebuah kondisi terkurung dari pendidikan dan pembelajaran. Makanya di lagu "Hymne Wajib Belajar" terdapat kalimat : "berantas kebodohan, perangi kemiskinan.." Tapi itu cuma lagu jaman Soeharto. Sayang sekali tidak dilanjutkan..

Sebagai penutup, sudah saat nya kita bisa saling mengingatkan kepada orang-orang terdekat kita untuk tetap membuka pikiran lebih jernih. Bangsa ini sedang sakit tapi tidak mau nampak sakit. Tetap nekad pake jas plus dasi padahal muka dan bibirnya jelas nampak pucat, rambut rontok dan batuk-batuk. Pemerintah negara ini ingin tampil gagah di atas kaki yang lumpuh. Singkat kata, pemerintah nampaknya lebih nyaman menjaga penampilan dibanding memperbaiki penyakit dalam. Ayo! jangan mau dibuai dengan mimpi dan janji-janji gombal..!