Tuesday, October 5, 2010

Modern Product: It's Not Just About Technology, It's an Attitude!

Apple baru saja membuat heboh dunia gadget dengan mengeluarkan iPad dan iPhone 4. Sebuah produk yang sudah dinanti-nantikan penggemar Mac sejak isunya mulai terendus beberapa bulan sebelum produk ini release ke pasar. Orang rela mengantri sejak pagi di toko resmi Apple, rela beli dengan berapa pun harga yang ditawarkan Apple, bahkan untuk di Indonesia, mereka rela ke Singapore untuk bisa mendapatkan produk Apple duluan secepat mungkin. Fenomena apa ini?

Kompetisi Teknologi

Kita tahu, sejak kemunculan Internet di masyarakat luas, teknologi terasa sekali percepatannya. Teknologi bergerak sangat cepat hingga manusianya pun sebagai pengguna bisa dibuat tak berdaya musti mengikuti perkembangannya tersebut. Dulu, teknologi membantu mengikuti perkembangan budaya manusia, saat ini manusia yang susah payah mengikuti perkembangan teknologi. Tidak heran jika hampir semua orang-orang tua generasi kemarin nampaknya sudah pasrah dan tidak mampu untuk mengikuti perkembangan gadget teknologi sekarang.

Kecepatan perkembangan teknologi muncul akibat persaingan produk teknologi yang berada dipasaran. Kemunculan teknologi "silikon" datang utuh dalam waktu bersamaan di berbagai negara, kesempatan ini diambil oleh generasi "digital" ini sebagai sebuah moment menguntungkan dan peluang unggul yang sangat besar sekali. Tidak heran persaingan di dunia teknologi "silikon" ini bisa memutar-mutar balik peluang dan siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Lihat saja, bagaimana raksasa portal Internet YAHOO yang pada akhir tahun 90an merajai dan disinyalir sebagai the biggest web portal namun kini tinggalah web biasa. Kemudian kejayaan NOKIA sebagai rajanya mobile phone kini musti bersaing lelah dengan produk-produk Korea dan produk baru yang ikut dalam kompetisi dan mampu melesat cepat!

Siapa bisa menduga akan ada Google yang bisa membungkam Yahoo? Lalu Facebook yang meyalip dengan mudah kedigjayaan Friendster? Lalu kini Facebook yang terkenal dengan seabreg web app yang canggih musti bersaing dengan kemunculan Twitter, si burung kecil dengan fitur teks yang cuma berkampuan 140 karakter dan minim web app. Sebuah persaingan yang sangat tidak bisa terprediksi, sebuah persaingan yang akhirnya mampu memberikan kesempatan dan harapan bagi siapa saja yang akan mencoba peruntungan di dunia "silikon" ini... berminat??

Kompetisi Desain

Ya.. semua orang tahu bagaimana pentingnya sebuah desain dalam sebuah produk. Sebuah produk dengan teknologi canggih saja akan dicap sebagai produk militer, laboratorium, atau "geeks".

Desain bukan saja memberikan fungsi ergonomis atau kenyamanan pengguna namun sudah mulai masuk pada keindahan produk itu juga. Bagaimana layar besar itu lebih digemari pengguna, kemudian keyboard, bentuk genggaman dan seterusnya, menjadi bagian penting  pilihan pengguna produk.

Lewat desain, akhirnya kebutuhan user makin tergali. Para pengembang teknologi produk mulai mencari-cari kebutuhan pengguna sebagai dasar ide teknologinya. Tak heran jika akhirnya banyak sekali bermunculan ide-ide teknlogi yang diambil dari film fiksi ilmiah.

Kemunculan BlackBerry dengan desain seperti "komputer kecil" ternyata mampu menggeser desain mobil phone yang sekian puluh tahun berjaya. Bermula dengan munculnya produk Palm ® kini desain komputer kecil dengan keyboard kecil "memaksa" pengguna untuk belajar mengetik dengan dua jempol. Maaf saja bila anda masuk kategori orang yang kesulitan mengendalinkan kedua ibu jari, rasa-rasanya anda akan ketinggalan jaman.

Tak cuma itu, persaingan desain pun makin terasa hebohnya bersamaan dengan kompetisi teknologi sebagai fitur produk. Suara jernih, layar lebih cling, kamera dengan resolusi tinggi bahkan layar sentuh, semua diciptakan dan dimodifikasi oleh teknologi demi kebutuhan desain. Alhasil, kemunculan iPod dengan sentuhan sebagai alat pengontrol hadir sebagai sebuah terobosan fenomenal pada zamannya. IPod tidak mempedulikan teknologi pengontrol yang konvensional, iPod memaksa pengguna untuk "belajar" menggunakan teknologi dan desain terbarunya itu. Tak berapa lama nampaknya gagasan desain dan teknologi iPod diterima dengan tangan lebar oleh banyak pengguna gadget. Mereka merasakan produk itu jadi lebih "human" dari sekedar "engineering". Sejak itu, semua produk Apple terus hadir dengan sentuhan desain dan teknologi yang selalu cool dan so human

Produk Hidup, Produk Saya

Jajaran produk Apple, kian tahun kian muncul sebagai produk yang diawasi oleh para kompetitornya. Dulu Apple hanya punya satu kompetitor kuat yakni Microsoft. Persaingan mereka 20 tahun ke belakang sudah tinggal dongeng, karena saat ini persaingan Apple sudah masuk babak melelahkan karena musti bersaing pula dengan Nokia, BlackBerry, HP, Samsung, atau LG, bahkan musti bersaing dengan app provider seperti Android, Flash, dan Facebook (Ping). Sebuah kompetisi yang sangat cepat, ketat, dan pasti melelahkan.

Namun bagaimana cara Apple tetap bertahan dengan loyal customernya? Ya, fakta membuktikan bahwa produk Apple laku keras tapi bukan berarti menguasai pasar secara statistik. Apa yang menjadi daya tarik bagi loyal customer Apple? Saya rasa disinilah pejaran yang sering dilupakan oleh para pesaing-pesaing Apple, yaitu : ATTITUDE.

Pesaing Apple rasanya selalu saja menjual kecanggihan teknolgi dan fitur. Mereka bisa mencela kelemahan-kelemahan produk Apple dari sisi teknologi dan fitur dan selalu itu lagi itu lagi. Mereka mencibir bagaimana kelemahan iPhone dibandingkan BlackBerry karena tanpa lampu blitz, pertimbangan fitur. Tapi mereka lupa bahwa Apple telah memberikan ATTITUDE kepada loyal customer-nya. Dia memberikan sentuhan human dan sangat personal kepada semua produknya. Liat saja dengan penggunaan identitas "i" pada setiap produk personalnya, iMac, iPod, iPad, iPhone dan seterusnya. Huruh "i" disini mempunyai makna "I" sebagai saya dalam Bahasa Inggris. Sebuah nama yang sangat mencerminkan sebuah "sikap" dari sekedar sebuah produk gadget.

Apple kelihatannya sudah tahu pasar "manusia"-nya, yaitu manusia-manusia yang gemar berkecimpung di dunia kreatif, seperti advertising, musisi, movie maker, indie, dst. Apple memberikan "mood" yang sesuai dengan para loyalist-nya itu.

Alhasil, walau sempat dibilang tidak menguasai komposisi pie pasar, Apple dan loyalist-nya tetap santai dan asik dengan "attitude"-nya, attitude yang ternyata menjadi sebuah ikon anak muda yang progessive dan asik. Bersamaan dengan semua produk teknologi gadget itu selalu berkonotasi dengan gaya "kantoran" atau "geek", namun produk Apple seperti mampu menempatkan loyalist-nya pada posisi : "we're not kantoran or even a geek, we're just cool.. and we are what we are". Sebuah sikap yang sangat melekat dengan semua produk Apple.

Lantas contoh produk apa lagi yang memberikan "attitude" pada nyawa produknya? Jelas banyak.. lihat saja Nike, Volcom, Quiksilver, atau bahkan produk jasa sekalipun, seperti MTV (bukan yang Indonesia ya :P) , Channel V, atau perusahaan besar sekalipun seperti Virgin Group milik Sir Richard Branson. Apa yang membedakan Virgin Atlantic dengan maskapai penerbangan lain? Jelas ATTITUDE-nya. Virgin, dengan gaya hippie Branson mampu menjelma sebagai sebuah produk yang "cool" dan punya sentuhan human yang lebih klop merepresentasikan customer-nya.

So, sudah saatnya memberikan "attitude" pada produk dan jasa anda, jika produk anda ingin survive! :D

Thursday, August 12, 2010

Killed By Information Overload

Manusia Dan Keterbatasan Inderanya

Setahu saya, manusia punya banyak keterbatasan. Misalnya keterbatasan indera mata dan telinga. Mata manusia punya keterbatasan jarak, batas dinding, dan lainnya. Begitu pun telinga manusia. Jarak kemampuan mendengarnya pun sangat terbatas. Lalu apakah semua keterbatasan ini bisa disebut sebagai kekurangan?

Keterbatasan pandangan (mata) manusia jelas mempersulit manusia dalam melakukan pekerjaannya, begitu pun kemampuan mendengar. Belum lagi keterbatasan fisik seperti jalan kaki dan berlari sebagai kemampuan alat transportasi alamiah yang dimiliki tubuh kita.

Walau pun demikian, dari semua keterbatasan tersebut ternyata manusia banyak menyimpang keunggulan-keunggulan mutakhir yang sulit buat digantikan dengan mesin sekalipun. Contohnya kemampuan jantung secara sistematis dan otomatis dalam mendistribusikan aliran darah ke seluruh bagian tubuh kita. Hebatnya lagi, organ tersebut bisa bekerja tanpa perintah dari otak kita. Nah.. jadi mengapa kemampuan mata atau telinga kita tidak bisa secanggih kamera video atau alat perekam jarak jauh?

Manusia Dan Teknologi

Manusia adalah mahluk yang mempunyai kemampuan akal pikiran dan akal budi. Dengan kemampuannya tersebut manusia akhirnya mempunyai kemampuan untuk mengakali keterbatasan-keterbatasannya. Hal ini yang kemudian dikenal dengan teknologi. Sejak manusia menemukan pisau sebagai alat pemotong daging hal ini disebabkan keterbatasan gigi dan daya unyah mulut kita.

Lebih jauh lagi, manusia bisa merekayasa teknologi untuk menciptakan dari sepeda hingga pesawat terbang guna mensiasati keterbatasan perpindahannya yang hanya dengan jalan kaki. Lalu menemukan kamera, telepon, dan masih banyak lagi.

Sepanjang sejarah, manusia ternyata sudah menciptakan banyak sekali penemuan teknologi yang pada awalnya hanya ingin membantu keterbatasan manusia, kini nampaknya sudah bergeser ke arah merekayasa kehidupan mereka sendiri. Dari cuma teknologi, kini manusia sudah memasuki babak yang lebih tinggi seperti stemcell di bioteknologi bahkan simulasi teori penciptaan alam semesta di CERN.

Manusia Dan Teknologi Sosial

Manusia kini sedang berada dalam zaman teknologi informasi super canggih. Zaman dimana dahulu kala cuma jadi angan-angan dan impian para penulis atau pembuat film science fiction. Manusia bukan saja bisa melihat dan mendengar lebih canggih, namun sudah bisa menembus batas geografis yang sangat fantastis.

Internet yang sudah menjadi bagian hidup manusia saat ini sudah mampu merubah pola kehidupan atau budaya manusia saat ini. Dengan internet maka informasi yang bisa diperoleh jauh lebih banyak dan sangat luas. Dalam keseharian saat ini, kita sudah bisa atau mampu memperoleh informasi yang sangat mengagumkan. Dalam hitungan detik kita bisa memperoleh informasi pandangan maupun suara di benua lain.

Internet sudah mendidik kita untuk larut dan hidup dengan peradaban dan budaya supercepat dan tanpa batas. Cepat dalam hal waktu dan tanpa batas dalam hal geografis. Informasi yang bisa didapat pun sudah sangat begitu dahsyatnya. Dengan gelombang besar informasi ini apa yang musti dibendung selain kita melakukan filterisasi dalam diri kita sendiri?

Manusia Butuh Teman

Melihat uraian teknologi dan budaya manusia saat ini, nampaknya kita sedang berada dalam masa yang kritis. Kita sedang hidup dalam kebebasan yang tenyata malah mengikat kita. Nah..  lantas apa hubungannya dengan Facebook? Sebetulnya Facebook ini cuma contoh dan perkembangan teknologi informasi tadi. Kalau kita lihat saat ini hampir banyak manusia telah terhubung dengan jaringan informasi, yang kemudian dikenal dengan social networking atau jaringan sosial di dunia maya.

Dengan teknolgi tersebut, kini setiap orang sudah bisa berbagi informasi satu dengan yang lainnya. Informasi tidak cuma tulisan bahkan sampai gambar dan suara. Apalagi dengan penggunaan "status" yang nampaknya bisa diupdate setiap menitnya. Dari mulai mau berangkat, lalu di jalan macet, lalu susah mencari parkir, hingga dapat parkir dst. Bisa terus diupdate di status Facebook atau Twitter.

Informasi nampaknya sudah sulit dipisahkan mana yang penting mana yang tidak. Penting atau tidaknya informasi sudah tergantung masing-masing manusia. Dari yang cuma informasi iseng hingga informasi rahasia.

Terlebih lagi, batasan public space dan private space jadi pun makin blunder.

Too Much Information Will Kill You

Sulit buat saya mencari kalimat yang pas dalam bahasa Indonesianya, tapi intinya seperti itu bahwa ternyata kita bisa mendapatkan kesulitan jika memperoleh informasi yang berlebihan. Hal ini menjelaskan mengapa indera kita punya keterbatasan, hal ini bukan berarti kekurangan melainkan sistem protektif manusia.

Saat ini kita sudah berada di era informasi yang overload. Ada banyak sekali informasi yang mustinya kita tidak perlu tahu dan ketika tahu justru malah membuat pikiran dan mental kita jadi payah. Informasi atas kecelakaan, pembuhunan, perceraian, dan lain-lain di TV nampaknya sudah terlalu banyak dan overload masuk ke indera dan otak kita.

Jangan heran juga jika ternyata, ada banyak sekali orang yang bisa cerai karena informasi-informasi yang berlebihan tadi. Saya koq curiga ya bahwa yang namanya "main api" itu sebetulnya sudah kodrat manusia baik pria maupun wanita. Walau pada kenyataannya tindakan main api itu semata-mata cuma menghilangkan jenuh atau iseng atau karena ada kesempatan saja. Yang pada akhirnya memang tidak ada niat untuk main serong atau pindah ke lain hati.

Namun, ketika informasi seleweng atau selingkuh atau main api tadi diterima sebagai informasi maka opini akan terbentuk, sejak itu lah mulai muncul sikap-sikap yang bisa berakhir dengan konflik dan perceraian. Coba pikirkan.. jangan-jangan orang yang hidup di jaman dulu pun sudah banyak yang melakukan selingkuh atau main api ini, akan tetapi ketika informasi itu tidak bocor maka ia akan baik-baik saja, yang akhirnya memang cuma iseng dan tidak berniat meninggalkan isteri atau suaminya. Bayangkan jika yang awalnya cuma iseng atau karena situasi, namun disikapi dengan sikap-sikap over-acting maka bukan tidak mungkin akan malah menimbulkan percikan konflik.

OK, terlepas dari masalah serong, ternyata membatasi informasi yang masuk ke dalam kepala kita adalah hal yang bijaksana. Ketika saya pergi ke pelosok-pelosok desa, mereka bisa hidup dengan range informasi yang sangat terbatas. Hasilnya hidup mereka nampaknya jauh lebih ringan dan tanpa beban. Ini bukan berarti tidak ada masalah, akan tetapi masalah yang musti mereka hadapi dan selesaikan adalah masalah yang terjadi di ring-1 dirinya saja. Mereka tidak ambil pusing ketika orang lain atau bahkan selebriti yang ada di ibukota sedang didera skandal.

Dari semua ini, ternyata sikap bijaksana dalam menyaring informasi dan berita menjadi sebuah hal penting. Jangan membebani diri sendiri dengan masalah orang lain. Sikap analitis dan kritis terhadap situasi tentu tetap menjadi penting, ini hal yang berbeda. Semoga kepala kita akan lebih ringan

Sunday, May 16, 2010

It's Not Just a Trip, It's a Journey

Maaf, bukan mau gaya-gayaan pakai judul Bahasa Inggris tapi kelihatannya frase ini lebih pas, apalagi sulit buat saya mencari arti yang signifikan dalam Bahasa Indonesia antara TRIP dan JOURNEY.

It's About Trip

Perjalanan, itulah yang akan saya ceritakan disini. Yah.. memang saya suka sekali bepergian, ke tempat yang biasa-biasa saja, tidak biasa, dan luar biasa. Dalam perjalanan itu pasti saja mempunyai kenangan-kenangan yang menarik bahkan istimewa. Biasanya saya sering share lewat blog atau foto-foto.

Saya pernah pergi ke pasar loak Poncol di sekitar Pasar Senen, tapi juga saya pernah cuma terpana di dalam Grand Gallery Museum Louvre atau terpana saat melihat matahari terbit di Taj Mahal.

Dari kesemuanya itu sangat memberikan kesan yang mendalam atas semua yang saya lihat itu. Rasanya saya bisa mendekat bahkan masuk ke sebuah perkenalan dengan semua pelaku karya-karya tadi, walau jelas-jelas mereka sudah wafat. Hal ini mirip sekali saat saya bisa nonton pertujukan live show band kesukaan saya. Sangat terasa bahwa disitulah saya bisa hadir dalam suasana yang sama dengan pelaku karya tersebut.

It's A Journey

Lantas apa bedanya dengan journey yang saya maksud dijudul tadi? Pada awalnya saya tidak pernah terfikir bahwa dalam sebuah kisah perjalanan saya itu akan menimbulkan sebuah petualangan perasaan yang sangat mendalam atas empati diri.

Berawal dari sebuah ajakan pergi ke sebuah pulau dalam rangka survei. Tidak seperti biasanya kepergian ini agak beda dari kepergian-kepergian saya sebelumnya, yaitu tanpa gadget sama sekali. Tanpa laptop, tanpa kamera, bahkan tanpa handphone.

Rencana kepergian ini sangatlah sederhana yaitu mencoba "bengong" di pantai. Tanpa rencana, tanpa ide-ide, tanpa ambisi, dan tanpa tahu akan seperti apa. Seperti kata Master Ip Man, yaitu "berusaha untuk tidak berusaha". Jadi memang pergi untuk membiarkan "alam" memandu kita di lokasi. Makanya jangan kaget jika akhirnya saya tidak mendapatkan penginapan yang "normal" melainkan di mes polisi yang selalu kosong saat wiken dan saya gak mendapat sewaan sepeda. Terpaksa kemana-mana musti jalan cukup jauh.

Dalam situasi seperti ini, kita cuma bisa pasrah pada alam dan universe :D Hingga akhirnya saya menemukan sebuah pengalaman baru yang sangat mendalam yaitu kita bisa menikmati serangkaian keindahan alam yang hadir di depan muka kita, apa adanya.. orisinal dan tanpa embel-embel.

Sebuah pagi di tepi pantai, kita cuma menatap ke depan melihat hamparan laut dalam batas horison menganga pada sebuah lukisan awan yang sangaaat besar, megah, dan sangat agung. Semuanya terbentang sangat indah, menawan, dan cukup kuat untuk membuat kita terdiam, tidak bersuara, bahkan berusaha untuk menahan nafas agar tidak mengganggu orkestra suara alam tadi. Angin, ombak, burung, serangga, bahkan suara motor kapal nelayan. Semua saling melengkapi dan muncul jujur sekali.

Saat itu saya sadar bahwa yang saya lihat di depan mata ini adalah sebuah kejadian orisinil persembahan maha karya alam dan universe. Sebuah "pertunjukkan" yang mungkin hanya bisa saya nikmati sekali seumur hidup, tak akan ada alam mengulang hal yang sama.

Momen itu bisa saya andaikan seperti kita berasa dalam sebuah gedung opera yang megah, menikmati sebuah pertujukkan panggung yang kita cuma bisa menonton, menikmati, menghayati, bahkan ikut terharu. Karena saya tidak membawa kamera maka saya tidak bisa mengabadikan momen tersebut, akan tetapi justru disitulah letak nilai ke-orisinalannya. Kita cuma bisa menikmati saat itu saja. Foto hanyalah replika sebuah kejadian, sama seperti musik dalam kaset atau lukisan dalam postcard

Di saat itu, saya tersadarkan, betapa dalam keseharian saya selama ini saya suka melewati momen-momen yang dihadirkan oleh alam dan universe di depan mata kita. Baik itu pemandangan, pertunjukkan, suara, bunyi, warna, bau, dan seterusnya. Semuanya nampak wajar dan biasa-biasa saja. Padahal ternyata semua itu bisa memberikan sebuah empati yang besar sekali. Teman saya pernah bilang, bahwa kebahagiaan itu memang tidak bisa dicari, maupun diciptakan, melainkan disadari.. oalaa.. terhenyuh rasanya ketika disadarkan akan hal itu.

Sepulangnya saya dalam kepergian yang "tak jelas" tadi ternyata justru membawa saya ke sebuah pengalaman yang sangat membuka mata dan memperjelas pandangan saya atas universe ini. Rasanya saya akan mulai mampu menghargai karya-karya dan pertunjukkan alam. Sebuah pemandangan yang bukan untuk saya share lewat foto, melainkan sebuah pemandangan yang musti saya cerap ke dalam hati saya. Saya renungi dan rela melepaskan pertunjukkan pemandangan tadi pergi dan berganti dengan pemandangan lain.

Terima kasih ya.. sudah mengajak saya pergi dalam sebuah journey.. yang menjadi salah satu titik penting dalam journey of my life. :) Saya gak akan pernah ragu untuk diajak dalam journey yang lainnya :)


EM :)

Wednesday, December 2, 2009

Sensor vs Kebebasan Informasi : Dilematis Media vs Audience

Tentang Informasi

Jika kita ingat sepuluh tahun ke belakang, rasanya belum pernah terbayang bahwa teknologi informasi bisa tumbuh sangat pesat seperti hari ini. Informasi yang beredar di masyarakat begitu deras dan cepatnya. Akibatnya masyarakat bisa jadi kewalahan bahkan tak mampu mengimbangi derasnya informasi tersebut.

Dari konteks tersebut rasanya kita sulit mengkategorikan kejadian ini sebagai sebuah kemajuan atau ancaman. Seperti pisau bermata ganda, teknologi informasi sering disikapi dengan pro dan kontra. Ada pihak yang mendukung penuh kemajuan teknologi informasi ini ada pula yang mengkhawatirkan sebagai ancaman kerapuhan sosial.

Teknologi informasi berdampak langsung terhadap era keterbukaan. Saat ini setiap orang mampu menerima informasi secara langsung dan lebih cepat dari sebelumnya. Begitu pun sumber berita yang dulu hanya didapat dari media massa kini semua orang sudah bisa menjadi reporter, wartawan, atau nara-sumber. Keterbukaan ini membuat masyarakat seakan berada di dalam dunia yang tanpa batas, baik batas waktu, batas wilayah, batas profesi, batas agama, batas norma, batas realita, bahkan batas-batas susila.

Di sisi lain, keterbukaan informasi ini menjadi manfaat besar bagi banyak masyarakat pula. Keterbukaan informasi menjadikan sistem negara demokrasi menjadi lebih terbuka. Keterbukaan informasi seakan menjadi alat penting dalam era keterbukaan pemerintahan. Presiden, menteri, dan masyarakat bisa langsung saling menyapa dan memberikan saran dan masukan satu dengan yang lainnya. Bahkan beberapa menteri pun sudah siap menggunakan Twitter sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat. Lewat alat komunikasi canggih seperti internet sebuah opini publik bisa lekas disikapi oleh pemerintah, misalnya dalam kasus KPK kemarin.

Keterbukaan ini jelas hanya terjadi masa kini saja. Dahulu rasanya sulit sekali mencari informasi. Masyarakat butuh upaya lebih demi mencari sebuah informasi. Belum lagi sistem pemerintah untuk mengatur peredaran informasi di masyarakat lewat cara yang disebut sensor.

Tentang Sensor

Sensor merupakan salah satu upaya penyaringan informasi yang akan menyebar di masyarakat. Sensor saat ini menjadi momok di era super keterbukaan informasi. Sensor nampaknya menjadi kuno dan musti segera dihapuskan. Tapi apa betul sensor itu merupakan hal yang bertentangan dengan keterbukaan informasi?

Saat film  2012 beredar, beberapa masyarakat bahkan MUI menyarankan agar film tersebut ditarik dari peredaran, karena dianggap tidak layak tonton oleh masyarakat. Sementara di  masyarakat sisi lain justru tidak mempermasalahkan apa yang dikhawatirkan oleh MUI dan masyarakat sisi lainnya lagi. Lalu film Balibo, yang dianggap bisa mempermasalahkan hubungan RI dangan Australia, sebelumnya juga tentang melibatkan Maria Ozawa di salah satu film nasional, ada yang melihatnya biasa-biasa saja, ada pula yang menilainya sebagai ancaman moral bangsa. Bagaimana ini bisa dibedakan?

Sensor seringkali dikaitkan dengan pembatasan informasi asusila. Kenyataannya fungsi sensor lebih dari sekedar "polisi asusila". Dalam sebuah tayangan yang menampilkan sebuah adegan kejam, keji, atau berkaitan dengan SARA, jelas akan dikenakan sensor. Fungsi sensor jelas dalam konteks melindungi masyarakat. Gambar adegan kejam dan keji misalnya, tentu tidak layak ditayangkan jika bisa menbuat masyarakat resah dan cemas. Begitu pula jika ada tayangan yang bisa dianggap melanggar norma-norma susila, tentu akan dilarang.

Akan tetapi, apa parameternya jika masyarakat yang satu dengan yang lain berbeda dalam menilai sebuah nilai-nilai? Semisal dalam kasus tayangan norma susila. Di beberapa masyarakat film Baywatch bisa dikatakan biasa saja, akan tetapi di wilayah lain tentu bisa meresahkan norma susila masyarakatnya. Begitu pun dengan adegan berdarah-darah, bagi beberapa golongan masyarakat mungkin biasa saja namun di beberapa masyarakat lainnya bisa jadi meresahkan. Walau kita mengenal istilah norma dan nilai-nilai obyektif, namun nampaknya hal ini tetap sulit untuk digolongkan begitu saja.

Edukasi Masyarakat (Audience)

Melihat dua kondisi yang selalu berbeda itu, nampaknya ada satu hal penting yang terlupakan dari kontradiksi antara SENSOR vs KETERBUKAAN ini, yaitu tingkat pendidikan masyarakat sebagai pencapir-nya (penonton - pendengar - pembaca - pirsawan). Tingkat pendidikan jelas akan mempengaruhi tingkat persepsi. Hal ini penting sekali dan keliatannya sering dilupakan. Persepsi seseorang sudah pasti bisa beda dengan persepsi orang lainnya walau dalam tingkat pendidikan yang sama, apalagi jika persepsi itu dihadapkan pada orang dalam tingkat pendidikan yang berbeda.

Indonesia memiliki lebih dari 250 juta manusia dalam tingkatan pendidikan yang berbeda, bahkan jauh sekali bedanya. Jurang tingkat pendidikan ini nampak jelas saat terjadinya kontroversi pengadaan Ujian Nasional (UN) di tingkat sekolah menengah. Masalahnya cuma karena mereka merasa materi yang diujikan belum mencapai tingkat yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ini masih dalam lingkup pelajar, bagaimana di tingkat orang-orang tua mereka yang jelas jauh dari pendidikan yang layak?

Disini lah duduk perkaranya bahwa sensor itu musti tetap dilakukan dalam hal siapa pemirsa yang akan melihat / menonton / mendengar / membaca-nya. Wawasan dan latar belakang pendidikan manusia sebagai penerima informasi sangatlah penting. Saat manusia menerima sebuah sensasi dari panca inderanya, maka saat itu otak akan melakukan persepsi, lantas dari persepsi inilah seseorang akan menyikapi informasi-informasi yang diterima inderanya. Minimnya wawasan dan informasi seseorang jelas akan berdampak terhadap persepsi dan sikapnya.

Bioskop kita melakukan sistem sensor juga pembatasan penontonnya lewat kategori usia penonton, ada kategori semua umur, 17 tahun ke atas, khusus dewasa dan yang lainnya. Akan tetapi nampaknya pembatasan lewat kategori usia tidaklah cukup, sudah saatnya distributor film di Indonesia melakukan pembatasan peredaran film ke daerah-daerah yang tingkat pendidikan masyarakatnya dikategorikan rendah. Begitu pula halnya dengan penayangan acara di televisi. Seiring dengan pembatasan stasiun dan penyiaran acara tv lokal, maka sistem tersebut bisa dilakukan sebagai batasan juga. Acara-acara TV yang sekiranya tidak layak ditonton di wilayah daerah tertentu maka tidak boleh disiarkan disana.

Keterbukaan Informasi VS Keterbatasan Psikologis

Hal lain yang musti kita ingat dari reaksi penonton adalah dampak psikologisnya. Kita musti sadar bahwa apapun yang ditonton oleh penonton jelas akan mempunyai dampak secara psikis. Baik itu perasaan senang, sedih, marah, cemas, dan seterusnya. Dampak psikologis ini pun berkaitan langsung dengan tingkat pendidikan si penonton tadi. Makin minim tingkat pendidikannya maka bisa dipastikan penonton tersebut makin sulit mengatur reaksi psikologinya saat menonton. Contohnya, seorang pembantu rumah tangga bisa sangat sedih saat menonton sinetron di TV. Atau seorang mahasiswa bisa sangat marah saat menonton sekilas info, atau seorang ibu rumah tangga yang cemas saat mendengar berita seorang selebriti mau cerai.

Dampak psikoligis ini yang seringkali suka disamaratakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Seringkali kita lupa bahwa di wilayah lain negeri ini masih banyak penonton yang minim persepsinya dalam melihat materi tontonan. Jargon kebebasan menerima informasi seakan-akan ditembak rata, lalu keterbatasan informasi seakan dianggap sebagai pengekangan kebebasan. Benarkah demikian? Saya rasa tidak juga.

Seorang ibu jelas ingin membiarkan anak-anaknya menonton TV, akan tetapi si ibu pun tidak mau anak-anaknya menonton tayangan yang menyeramkan, membuat anaknya cemas, apalagi takut. Berita-berita di TV seringkali menayangkan kejadian yang cenderung vulgar, makin vulgar dianggap makin otentik, dan makin otentik dianggap makin valid. Tapi mereka lupa bahwa yang valid, otentik, dan vulgar tadi ternyata tidak dibutuhkan oleh anak-anak. Mereka belum mampu menyikapi tayangan tadi itu dengan persepsi yang sama dengan orang dewasa, hasilnya tentu akan berdampak buruk bagi perasaan dan psikologi anak. Contoh lain, bahwa ada banyak penonton yang takut melihat darah, tayangan sadis, tayangan horor, juga tayangan yang membuat mereka jengah. Ini pun musti dihargai.

Dari kejadian-kejadian tadi, maka saya beranggapan bahwa keberadaan LSF, censorship, dan KPI tetap musti ada, akan tetapi dengan paramater dan kategori-kategori yang jelas dan proporsional. Tidak hantam kromo. Seperti kasus komik nabi di sebuah blog kemarin itu, masalahnya itu cuma seekor tikus di sebuah lumbung padi, lantas pembasmiannya dengan mengebom si lumbung padinya. Betul, bahwa tikus itu mati, namun semua isi lumbung termasuk lumbungnya pun ikut hancur. Sikap ceroboh inilah yang saya rasa musti dicermati lebih dalam lagi.

Selamat menonton dengan nyaman :)
Salam
Motulz

Friday, October 31, 2008

Mau Tahu Kapan Anda Mati? Kirim SMS ke 666

Sejak lama, gue udah dengar yang namanya REJEKI, JODOH, dan MATI itu ditangan TUHAN. Dalam agama saya ya di tangan Allah. Konteks ketiga hal ini gue rasa bisa dimaklumi mengingat ketiga topik barusan merupakan bagian dari rahasia kehidupan. Rahasia.. artinya memang cuma Tuhan lah yang tahu isi dari ketiga rahasia tadi.

Namun, seiring dengan kecanggihan teknologi (mungkin?), manusia nampaknya mulai memasuki wilayah yang sebetulnya rancu, yaitu wilayah rahasia Tuhan tadi. Manusia nampaknya makin jumawa dalam menyikapi rahasia dan konsep-konsep ketuhanan. Istilah banyak orang "playing God", yaitu bermain-main menjadi Tuhan.

Nah.. kenapa gue menulis judul barusan?

Belakangan ini gue sering banget melihat iklan jasa SMS di TV yang isinya itu sudah memasuki wilayah salah dua dari ketiga rahasia Tuhan tadi yaitu REJEKI dan JODOH. Dalam iklannya mereka berani mengklaim bahwa dalam mencari rejeki pun mereka bisa tahu bahwa pekerjaan yang dilakukan itu SALAH. Apalagi dengan dilengkapi analisa tanggal atau hari kelahiran. Misalnya anda lahir Rebo Kliwon.. jadi gak cocok kerja di air. Bagi saya ini cukup fenomenal dan sebuah terobosan besar di dunia keprofesian.

Satu lagi yaitu masalah jodoh. Mereka (si penyedia jasa SMS) berani memberikan perhitungan prosentase kecocokan anda dengan calon pasangan anda. Selanjutnya jika ternyata prosentasenya itu di bawah 50%, mereka berani bilang untuk stop dengan si calon dan mencari calon lain yang lebih cocok. Damn! Ini keren banget.. harusnya sudah masuk ke acara Discovery Channel. Ini sebuah kemajuan manusia abad ini, yaitu bisa memecahkan dua dari tiga rahasia Tuhan.

Bayangkan, dari tiga rahasia Tuhan tinggal satu lagi yang belum masuk jasa SMS yaitu menghitung hari atau tanggal kematian.

"Bingung sama tanggal kematian kamu? Jangan gelisah.. saya... KI Anom Turuhejo bisa menghitung kapan tanggal kematian kamu dari perhitungan weton. Kirim SMS Reg spasi MODAR ke 666... pasti anda mati saat menerima jawaban saya"

Lantas, bagaimana masyarakat atau pemerintah dalam menyikapi hal ini?
Jika melihat frekwensi seringnya tayangan iklan sejenis ini, tentunya pemasukan mereka tinggi sekali. Beriklan di TV itu tidak murah. Artinya, di saat kondisi negara yang tidak jelas juntrungannya ini, penjualan jasa tersebut bisa jadi laris manis. Belum lagi sikap pemerintah yang plin-plan dan gak jelas.. dan keliatannya pemerintah pun tidak peduli dengan iklan tersebut yang jelas bagi saya sangat-sangat gak pantas buat tayang di TV.

Seru sekali ya bangsa ini...


Sunday, October 26, 2008

Mari Selamatkan Moral Bangsa.. dengan UU-Pornografi?

Menjelang hari-hari menentukan bagi nasib RUU-Pornografi & Pornoaksi diputuskan, ternyata makin banyak kelompok-kelompok yang makin gencar melakukan unjuk rasa sebagai sikap dukungan atau penolakan. Dari kedua belah pihak yang sedang berseteru ini keduanya mempunyai argumen yang sama kuat demi menggolkan atau pun menggagalkan si RUU ini. Akan tetapi yang saya lihat kedua-duanya ini mempunyai kesamaan yang sangat signifikan, keduanya bertujuan tetap sama.. yaitu : Upaya menyelamatkan moral bangsa.

Bagaimana kalau keduanya itu bisa sadar bahwa dibalik segala perbedaan pendapat dan pikiran atas RUU ini, namun dasar pijakannya ternyata tetap sama, prioritas akan kepedulian moral bangsa nampaknya memang sudah semestinya diselamatkan dan harus segera diambil tindakan konkrit, bukan cuma kajian atau pun wacana. Akan tetapi pertanyaannya.. apakah usaha penyelamatan moral bangsa ini harus segera dilaksanakan dengan memprioritaskan pornografi sebagai biang atau akar kebobrokan moral bangsa ini? Saya rasa koq bukan ya?

1. Antara Etika, Moral, dan Ahlak

Karena seringnya kita mendengar ketiga kata tersebut, etika, moral, dan ahlak, sampai-sampai banyak diantara kita yang ternyata samar dalam memahami perbedaannya. Saya tidak akan membahas ketiga bahasa tersebut dalam kajian bahasa. Secara umum, etika adalah norma-norma masyarakat yang berkaitan dengan latar belakang budaya, sementara moral adalah norma-norma masyarakat pada umumnya (tidak melihat dari budaya), sementara ahlak adalah norma-norma masyarakat yang berlandaskan ajaran dan aturan agama. Ketiganya berfungsi sama yaitu mengatur norma-norma masyarakat. Mari kita ambil contoh yang sedang kita bahas saat ini, yaitu : ketelanjangan. Jika kita melihat ketelanjangan itu secara etika, ini jelas akan jadi bias saat kita menempatkan telanjang ini, di kamar mandi? anak sunat? ibu menyusui? pameran seni? fotografi? dan lain sebagainya. Etika telanjang itu harus melihat kultur budayanya. Bagi suku asmat mereka etis melakukan ketelanjangannya. Justru dengan memaksakan mereka menutupi ketelanjangannya itu sama saja dengan menindas etika budaya mereka.

Tapi, jika kita melihat ketelanjangan Suku Asmat dari sisi moral, bisa jadi mereka dianggap tidak sopan. Tapi apa berarti tidak bermoral? Jelas tidak. Mengapa? karena telanjang itu bukan masalah moral tapi masalah etika. Tapi sejak telanjang itu mulai diperjualbelikan (komoditi dagangan) sejak itu lah telanjang dianggap tidak bermoral, atau merusak moral. Saya rasa poin inilah yang ingin dicapai lewat RUU-Pornografi. Jika saja perumus RUU mampu dan bisa membedakan antara telanjang/semi telajang sebagai perilaku dan sebagai komoditi jualan, saya rasa masalahnya tidak akan serumit ini. Suku Asmat itu telanjang tapi sebagai perilaku budaya, ibu menyusui itu perilaku, hubungan sex itu perilaku, berbikini di pantai itu perilaku, topless orang asing di Bali, itupun perilaku, karena dari kesemuanya itu dilakukan bukan untuk "dagangan". Tapi ketika semua itu dilakukan untuk konteks entertainment dan jualan, maka sudah jelas ini melanggar etika pun moral.

Lalu, bagaimana dengan ahlak? Ini sudah tidak perlu dibahas dan diperdebatkan, aturan ahlak itu jelas. Selama manusia / individu tersebut menjalankan ajaran agamanya, maka dia sudah akan bisa membedakan mana telanjang yang boleh dan yang tidak. Untuk masalah ahlak ini saya rasa sudah bukan kapasitas DPR untuk mencampurinya, boleh sebagai pijakan akan tetapi musti tetap hati-hati karena ini berkaitan dengan keyakinan setiap manusia Indonesia dan itu sudah wilayah individu itu sendiri dengan khalik-nya.

2. Menyelamatkan Moral Bangsa

Misi tersebut merupakan tujuan dari RUU Pornografi ini. Diberbagai unjuk rasa yang saya lihat di TV, atau pun perdebatan dan diskusi-diskusi, mereka menyebutkan moral bangsa sebagai yang musti diselamatkan lewat RUU ini. Saya setuju, jika anggapan pornografi ini sebagai perusak bangsa.. setuju sekali, akan tetapi saya akan lebih setuju jika yang musti diselamatkan itu moral secara keseluruhan, bukan cuma kepornoan.

Jika memang kita setuju ingin menyelamatkan moral bangsa, apa iya pornografi merupakan ranking teratas dalam kebobrokan moral bangsa ini? Saya koq gak yakin ya? Kebobrokan moral bangsa ini sudah bisa kita lihat di depan mata kita, kita ambil contoh :

- Korupsi / mencuri uang negara dan rakyat (pajak)
- Kolusi
- Membohongi dan menipu masyarakat
- Pembodohan masyarakat
- Pejabat dan calon pejabat yang umbar dan ingkar janji
- Menjual belikan agama sebagai alat politik
- Pejabat, aparat, guru, ulama yang munafik
- Menelantarkan anak
- Mempekerjakan anak
- Narkoba
- Minuman keras (memabukan)
- dlsb (terlalu banyak)

Dari sekian banyak itu, kesemuanya adalah bibit dari degradasi moral bangsa Indonesia ini, termasuk pornografi dan pornoaksi tentunya. Lalu pertanyaannya.. apakah lantas cuma pornografi yang musti dibenahi berkaitan dengan moral bangsa? Apa iya jika UU Pornografi ini disahkan lantas bisa menurunkan level kebobrokan moral bangsa? Saya bisa jawab sekarang : TIDAK AKAN!

Ada anggapan bahwa semua masalah diatas itu sudah ada UU-nya dan hanya tinggal pornografi yang belum ada UU-nya. Saya sepakat akan hal itu, tapi saya pun sering dengar juga bahwa UU yang mengatur porno itu sudah ada, baik di UU penerbitan, UU penyiaran, UU Kekerasan anak dan wanita dll. Jikalau DPR menganggap kesemuanya tadi itu tidak berjalan, ya jelas aparatnya (sebagai penegak UU) yang musti lebih digiatkan bukan dengan jalan membuat UU baru. Jangan-jangan ketika UU pornografi ini masih tidak jalan karena aparatnya tetap mandul, lantas DPR membuat UU Pengawasan Jalannya UU Pornografi.

3. Mari Selamatkan Bangsa (bukan cuma moralnya)

Sedih rasanya melihat bangsa ini terus dan terus bertikai. Jika kita mau mensyukuri proses penyembuhan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi 1998, maka kita sedang dalam tahap yang sedikit lagi akan sembuh. Namun nampaknya tahap atau fase ini disikapi dengan sinis oleh beberapa pihak. Perseteruan dan beda pendapat dijadikan mortir, masyarakat sengaja dibuat berseteru. Ini sangat melelahkan dan sangat menguras energi.

Bangsa ini makin terlihat bobrok moralnya saat berbicara moral. Ingin menegakkan moral tapi dengan cara-cara yang tak bermoral. Kata dan makna moral cuma dijadikan jargon saja. Sementara itu pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) cuma dijadikan cemooh dan di cap sebagai materi cuci otak Orde Baru. Sementara itu juga, pembangunan dan peningkatan pendidikan masih merayap menuju perbaikan. Bukan kah lebih baik jika DPR memperjuangkan sektor pendidikan? Baik itu pendidikan formal dan pendidikan agama? Bukan kah akan lebih baik jika pemerintah membuat Komisi Pengawas Moral Pejabat / Aparat? Tahun depan kita akan pemilu, tak lama lagi bangsa ini akan terpana lagi menyaksikan tontonan janji-janji capres dan caleg. Janji-janji indah dan menawan.. manis dan romantis.. Seakan-akan di nina-bobo-kan untuk tetap tidur saja. Bukankah moral-moral busuk ini yang mustinya diberantas demi menyelamatkan moral bangsa? Atau semua moral-moral busuk tadi berawal dari pornografi? Makanya UU Pornografi-lah yang musti lekas disahkan?

Mari kita selamatkan moral bangsa dari cara-cara tidak bermoral..

(Gambar : dari postingan gw yang dulu..)

Tuesday, September 9, 2008

Pernah tahu siapa orang dibalik suara khas trailler film?

Setelah sekian lama, akhirnya gua tahu siapa orang dibalik suara-suara khas trailler film.
Sayangnya dia baru saja wafat.. Ini merupakan respect gw terhadap dia.. SALUT Mr.Don!

Thanks Ipang!