Wednesday, January 2, 2008

Analisa Degradasi Musik Indonesia? (Market Oriented)

Suatu ketika, iPod di mobil saya habis battere-nya..so terpaksa puter radio saja. Saat browsing channel saya baru tersadar betapa musik dan lagu band Indonesia menguasai banyak frekwensi di radio-radio sekarang. Takjub! Tapi... ketika saya dengarkan lagi.. koq lagunya mirip-mirip ya?






Bibit Musik Lokal

Sekilas mengingat betapa industri musik di Indonesia ini sudah mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Musisi sudah mapan dan mampu di cap sebagai sebuah profesi dari kesenimanan. Hal ini bukan lah sebuah "hadiah" yang turun dari langit begitu saja melainkan buah dari hasil kerja keras para insan musik di negara ini selama puluhan tahun.

Saat saya masih SD, saya memasang poster-poster band asing di kamar sempit saya. Ada Queen, Genesis, The Police, Status Quo, dll. Buku catatan sekolah pun gak kalah kotor dengan stiker-stiker murahan bertuliskan Black Sabbath, The Doors, dll. Juga coretan-coretan pylox di gang-gang sempit. Saat itu musik asing meraja di Indonesia, tak heran jika semua kaset yang beredar pun ternyata semuanya BAJAKAN. Tak sedikit nama labels yang masih saya ingat, Pramaqua, Aquarius, Blackboard, Atlantic Records, Yes, Team Records. dll.

Bagaimana kondisi musik Indonesia saat itu? Wah jauh dari yang nampak sekarang. Musik Indonesia hanya mampu diterima sekelas dangdut. Sementara yang pop, hanya segelintir musisi yang mampu menembus pasar, sebutlah God Bless, Iwan Fals, Doel Sumbang, Fariz RM, Ikang Fawzi dll. Semua berjuang dan mempertahankan "selera lokal" di negeri ini. Tak kalah pula upaya Radio Prambors membangun musik lokal dengan LCLR (Lomba Cipta Lagu Remaja), dari situlah muncul istilah pop-kreatif.

Musik Pop

Istilah pop-kreatif ini saya rasa hanya ada di Indonesia. Mengapa? karena pada masa itu (80-an) istilah musik pop itu adalah musuh bagi anak-anak remaja saat itu. Musik pop dikuasai peredarannya oleh raksasa labels JK Records. Bermunculanlah penyanyi-penyayi solo yang menyanyikan lagu mendayu-dayu. Sebutlah Nia Daniati, Richie Ricardo, Maya Rumantir, dlsb. Saking eksisnya semua penyanyi itu masuk ke dalam sebutan JK Artist.

Menjadi penyayi merupakan sebuah perjuangan panjang dan melelahkan. Rasanya sulit sekali muncul di pasar musik Indonesia jika tidak membawakan lagu-lagu pop gaya JK Records. Saking meledaknya lagu-lagu sejenis hingga pasar sadar bahwa lagu-lagu yang beredar tersebut sudah mencapai titik jenuh, hingga Menter Penerangan saat itu (Harmoko) mengeluarkan edaran untuk stop membuat "LAGU CENGENG". Istilah ini muncul karena memang semua lagu yang beredar saat itu cengeng semua, Sedih karena diputuskan pacar, sedih karena cinta ditolak, dan seterusnya.

Dalam suasana kejenuhan tersebutlah para sekelompok anak muda berusaha lepas dari kungkungan selera labels yang cuma menyuguhkan "selera pasar". Sebutlah Gank Pegangsaan, lalu Jakarta Rhytm Section, GSP, dll. Bahkan ada beberapa yang "cuek" menyajikan jazz seperti Krakatau, Emerald dll. Semua hadir dan muncul dalam sebuah terobosan yang sangat signifikan.

Masa Transisi Pasar Anak Muda

Memasuki akhir tahun 80-an, musik Indonesia dikuasai oleh musik-musik radikal, yaitu gaya Iwan Fals. Kondisi politik saat itu menjadikan Iwan Fals sebagai tokoh corong suara rakyat. Luapan emosi massa sangat terasa saat mengalunkan lagu-lagu Bang Iwan, saat itulah mulai terasa kehangatan musik Indonesia di negeri sendiri. Bendera, spanduk, baliho, banner, dan banyak atribut lainnya.. semua bertuliskan FALS! FALS! Belum lagi komunitas-komunitas Fals yang bermunculan di banyak gang-gang sempit, daerah kumuh, dan pelosok-pelosok. Megah rasanya melihat kehadiran Bang Iwan dalam sebuah pentas panggung.

Lagu-lagu cengeng, mulai ditinggalkan. Lagu jenis balad lebih diterima. Saat bersamaan bermunculan pula band-band anak muda yang lebih berselera. God Bless muncul dengan menghadirkan gitaris ciamik Eet Syahranie (yang isunya pun dia muridnya Paul Gilberts). God Bless seolah-olah menjadi dukun dahsyat yang menghidupkan kembali mayat "rock" di Indonesia. Kalau musik pop mendapat nafas baru dari LCLR Prambors, maka musik rock mendapatkan nafas segar dari Log Zhellebor, seorang promotor musik rock kenamaan di negeri ini. Lewat labels LOGISS, Oom Log menelurkan banyak sekali band-band rock. Di saat itulah trend pentas panggung band makin laris.

Kehebohan ini makin menjadi semarak ketika Iwan Fals bersama Setiawan Djody meluncurkan group SWAMI dan KANTATA TAKWA. Diikuti dengan penampilan panggung mereka yang super dahsyat! Dengan panggung dan tata lampu kelas internasional, pentas mereka dapat dikatakan sebagai titik kebangkitan musik lokal. Atraksi lampunya pun sudah dahsyat sekali, berikut atraksi laser.

Masa-masa ini adalah catatan awal kebangkitan musik Indonesia. Anak-anak sekolah giat mampir ke studio-studio kecil untuk latihan band membawakan lagu-lagu lokal. Sebut saja lagu andalan mereka : "Semut-Semut Hitam" - God Bless, "Bento" - Swami, "Rock Bergema"- Roxx, dll.

Era MTV

Perjalanan musik Indonesia kian hari kian menancapkan cakarnya ke tanah air. Kehadiran musik Indonesia ini makin diperkuat dengan hadirnya MTV di ANTV. Saat itu lah musik Indonesia mulai masuk ke babak "professional". Musik Indonesia mulai dibiasakan dengan videoklip sebagai materi "marketing"-nya. Kebangkitan musik Indonesia pun ditandai dengan masuknya berbagai labels international, seperti Universal Music, Warner Music, EMI, Sony, dan BMG (dulu belum bergabung). Sejak itulah musik Indonesia mulai bersentuhan dengan prinsip dagang.

Sebagai band, mereka harus berfikir penuh strategi pemasaran. Pembuatan videoklip menjadi sebuah keharusan. Di saat itulah muncul berbagai production house yang khusus menelurkan videoklip band lokal. BDI, Avantgarde, Rexinema menguasai pasar videoklip lokal. Sutradara Rizal Mantovani dan Dimas Jay pun laris manis menguasai pasar videoklip.

MTV men-support dengan memunculkan acara MTV Ampuh (Ajang Musik Pribumi Sepuluh), lewat acara tersebut makin terasa musik-musik Indonesia makin punya kelas di pasaran lokal. DEWA 19 merupakan band yang menjadi benchmark kesuksesan saat itu. Penghargaan demi penghargaan membuktikan bahwa musik Indonesia sudah punya 'value'. MTV pun menganugerahkan Dewa 19 sebagai band terbaiknya. Istilah VJ (Video-Discjockey) pun marak di kalangan anak muda, MTV menjadi sebuah ikon anak muda gaul dan keren. MTV pun memberikan timbal balik dengan memberi sebutan "anak nongkrong" bagi penonton setia MTV. Anak muda dikenalkan dengan VJ yang keren.. Jamie Aditya, Sarah Sechan, Nadya Hutagalung, Donita, dan RAHUL KANA! :). Belum lagi anak muda dikenalkan dengan istilah bumper. MTV selalu memunculkan bumper-bumper unik yang khas anak muda. Saat itulah anak muda makin "liar" dan berani untuk unjuk gigi. Belum lagi media support lainnya seperti majalah dan radio.

Bisnis Musik

Masukalah musik Indonesia ke babak professionalisme. Musisi harus mampu menjadi businessman dalam menganalisa lagu-lagu yang akan diedarkan. Belum lagi strategi pemasaran dan distribusi. Pertimbangan kualitas musik dan sound pun jadi pertimbangan penting. Semua itu rela dibayar mahal demi sebuah profesionalisme. Profesi dalam industri musik ini pun makin berkembang. Ada music director, vocal coach, sound engineer, dll. Belum lagi dalam manajemen band itu sendiri, selain ada manager, ada road manager, ada stylist, ada tim media yang mengurus foto, video, dan web. Semua hidup sebagai sebuah profesionalisme bisnis.

Saat ini, ada berapa banyak musisi Indonesia yang kaya raya hidup bagai bintang dan rockstar? Rumah mewah, mobil sport, wanita, media, bahkan studio rekaman pribadi. Fans club, komunitas, tour, roadshow, dan lain sebagainya sudah menjadi keseharian. Ini merupakan sebuah titik puncak sebagai musisi di negeri sendiri.

Era Ring Back Tone

Penjualan musik di pasar lokal ternyata mampu menghidupkan profesi musisi. Pasar punya nilai tinggi dan musti menjadi pertimbangan strategi sebuah band. Belum lagi kemasan dan nama band yang mulai disikapi lebih berkonsep. Segitupun sudah digerogoti oleh barang bajakan. Bayangkan jika tanpa bajakan, mungkin royalti band bisa lebih dahsyat lagi.

Royalti penjualan CD dan kaset saat ini makin ditambah dengan royalti via RBT (Ring Back Tone) di beberapa mobile phone provider. Tidak heran jika royalti dari RBT ini mampu meraup keuntungan yang lebih besar dari CD dan kaset.

RBT, merupakan media baru pendistribusian musik di Indonesia. Di saat dunia sedang seru dengan MP3, iTunes, dan iPod, Indonesia justru sedang khusuk mengurus RBT. Penjualan lagu via handphone punya nilai yang sangat tinggi. Penjualan cara "ketengan" ini ternyata mampu mendongkrak penjualan album secara keseluruhan.

Market Oriented sebagai Pisau Bermata Ganda

Selama tahun 2004 - 2007 ini, RBT mulai merajai bisnis musik di Indonesia. Nilai jualnya sangat menggiurkan para pengusaha musik dan musisi. Ukuran ini menjadi tolok ukur nilai pasar di masyarakat. Penjualan CD, kaset dan RBT sudah valid dijadikan alat ukur kesuksesan band secara bisnis. Tak heran jika akhirnya musisi dan labels sepakat untuk menelurkan musik "berselera pasar". Pasar suka jenis lagu "mendayu" maka semua band harus bikin lagu jenis mendayu. Ketika memasuki bulan Ramadhan, tidak sedikit pula band-band menelurkan lagu religi. Saat itulah sebuah band berkarya atas kendali pasar (market driven). Strategi pemasaran produk pun diterapkan.

Yang uniknya lagi, konsep market driven ini memunculkan fenomena baru. Ketika sebuah labels punya nilai ukur jual yang berbeda dengan nilai ukur pasar. Ini terjadi pada KANGEN BAND. Saat itu mereka selalu gagal menjual lagu-lagu mereka ke labels, dengan alasan susah laku. Lantas lagu-lagu mereka bocor ke pembajak lagu dan kemudian terjual laris manis. Penjualan yang dahsyat ini membelalak mata pengusaha musik, kontan saja Kangen Band langsung di rekrut oleh Warner Music dan diperlakukan seperti band profesional. Cara yang terbalik ini sangat unik. Artinya pasar bajakan sudah bisa dijadikan ukuran laku tidaknya sebuah band di pasaran (ingat kisah Inul Daratista).

Bagaimana Kangen Band bisa dengan mudah diterima pasar? Mungkinkah jika dikatakan timing mereka saja yang pas? Kelahiran Kangen Band di pasar musik Indonesia itu adalah di saat pasar musik dengan gandrung dengan lagu mendayu "Kenangan Terindah"-nya SamSonS dan lagu-lagunya Ungu?

Jika diperhatikan, jenis lagu tersebut ternyata sedang digemari oleh pasar. Tak heran bermunculan lah band-band dan musisi baru yang melantunkan lagu-lagu berjenis sama. Nadanya nyaris sama.. chord-nya nyaris mirip.. temanya pun gitu-gitu aja.. belakangan saya sadar kalau saya gak bisa bedain antara lagu yang satu dengan lagu yang lain.

Kembali ke selera pasar, ada fenomena unik lainnya. Yaitu sebuah lagu bisa dengan mudah menjadi hits lewat bantuan SINETRON. Sebutlah Letto, yang penjualannya meledak beriringan dengan meledaknya sinetron yang menggunakan lagunya sebagai soundtrack. Kasus ini berbeda dengan Album HEART-ya Melly yang menelurkan album soundtrack ini khusus dibuat untuk film bertajuk sama "Heart".

Hal lain lagi adalah berubahnya "gaya" MTV sejak diambil alih oleh Group Media MNC. Dimana MTV makin hari makin menurun daya kreasi yang khas anak mudanya. Berkurangnya porsi penayangan videoklip di GlobalTV membuat para band mengurangi budget pembuatan videoklip karena dirasa kurang efektif. Apalagi cara marketing lainnya yang lebih efektif bisa dilakukan dengan cara join dengan sinetron tadi.

Bumper-bumper unik gaya MTV sudah mulai hilang, diganti dengan iklan-iklan REG SPASI dan SMS setiap jamnya. Belum lagi iklan murahan seperti alat pengecil perut, pembakar lemak, dan memperbesar payudara. Sangat jauh dari "ciri" dan "selera" MTV yang menyebut pemirsanya "anak nongkrong". Itu semua jauh dari gaya anak nongkrong. Belum lagi gaya VJ MTV yang makin hari makin "terpaksa" musti terlihat humor, asik dan cool. Yang terjadi malah kebalikannya. VJ Hunt MTV nampaknya sudah terlalu terpatok bahwa gaya VJ itu harus kocak seperti Jamie Aditya, liar seperti Sarah Sechan, atau cool gaya Nadya Hutagalung. Alhasil.. yang muncul adalah VJ dengan gaya "look-a-like" semua.

MTV sudah bukan lagi menyajikan gaya anak muda urban. Perlahan-lahan anak-anak muda urban makin mengurangi jatah "nongkrong"-nya di depan MTV. Berganti dengan anak-anak daerah. Tak heran jika belakangan gaya MTV saat ini lebih cocok menjadi tontonan anak muda di daerah-daerah. Apa ukurannya? liat saja siapa yang datang saat acara off-air MTV di gelar.

Penutup

Akankah ini pertanda masa degradasi kreasi musik Indonesia? Bagaimana para musisi harus menghadapi market driven yang sangat kuat ini? Apa yang menjadi pertimbangan para labels dalam mengatur porsi musik untuk diapresiasi dengan musik untuk komoditi?

Banyak musisi yang mulai melakukan konsep artist / band manajemen. Sebagai lembaga independen mereka mencoba melakukan sikap-sikap yang non-market driven. Selain itu scene musik indie di Indonesia nampaknya masih punya power bargaining yang sangat kuat. Jauh dari kendali labels apalagi pasar publik luas. Mereka punya pasar yang kecil namun loyal.

Hal lain adalah dengan adanya label-label kecil yang punya pasar sendiri (captive market) yang kuat sekali, yaitu AKSARA MUSIC. Label ini tetap berani dan bertahan menelurkan musik-musik dan band yang tidak "market oriented". Tak heran jika band-band dari label sejenis ini mampu menawarkan gaya dan jenis musik yang tidak pasaran. Tapi apakah bisa diterima di pasar umum? Saya rasa tidak.. karena itu tadi.. seleranya sudah beda.

Semoga scene musik indie di negara ini tetap hidup (walau oksigennya tidak nambah), semoga label-label kecil berkarakter makin tumbuh subur (walau cuma memanfaatkan ceruk pasar yang kecil), semoga para pengamat musik tetap mengingatkan musisi-musisi agar tidak terjebak dalam pusaran selera pasaran, dan semoga musisi-musisi Indonesia tidak cuma berkarya demi selera dan duit pasaran... tapi juga mampu memberikan nilai bagi khazanah musik di Indonesia.

Astaga... panjang amat!!
Selamat Tahun Baru 2008 MUSIK INDONESIA! :)

(Foto diambil dari http://aparatmati.multiply.com - Arian Seringai)


Tuesday, January 1, 2008

Iklan Molto "Negeri Kain" - versi Comfort Creme (UK)

Kaget setengah mati sama TVC Molto tentang "Negeri Kain". Mungkin saja gua salah.. yaitu kalo ternyata produk ini sama, antara Molto dan Comfort Creme, tapi kalau ternyata beda.. pihak yang musti diinterogasi adalah creative director advertisingnya. Tak lama.. Creative Director Ogilvy & Mather untuk produk Unilever memberikan konfirmasi bahwa produk tersebut sama, hanya beda nama brand-nya.

Mungkin teman2 ada yang udah lihat promonya di TV? Sering diputar di Trans7. Berikut adalah versi Comfort Creme (UK). Yang buat 3D-nya ini sebuah creative house di London  yang udah berhasil menelurkan banyak sekali 3D yang keren-keren, namanya Mill (www.mill.co.uk)

Ini iklan Comfort Creme-nya