Wednesday, January 2, 2008

Analisa Degradasi Musik Indonesia? (Market Oriented)

Suatu ketika, iPod di mobil saya habis battere-nya..so terpaksa puter radio saja. Saat browsing channel saya baru tersadar betapa musik dan lagu band Indonesia menguasai banyak frekwensi di radio-radio sekarang. Takjub! Tapi... ketika saya dengarkan lagi.. koq lagunya mirip-mirip ya?






Bibit Musik Lokal

Sekilas mengingat betapa industri musik di Indonesia ini sudah mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Musisi sudah mapan dan mampu di cap sebagai sebuah profesi dari kesenimanan. Hal ini bukan lah sebuah "hadiah" yang turun dari langit begitu saja melainkan buah dari hasil kerja keras para insan musik di negara ini selama puluhan tahun.

Saat saya masih SD, saya memasang poster-poster band asing di kamar sempit saya. Ada Queen, Genesis, The Police, Status Quo, dll. Buku catatan sekolah pun gak kalah kotor dengan stiker-stiker murahan bertuliskan Black Sabbath, The Doors, dll. Juga coretan-coretan pylox di gang-gang sempit. Saat itu musik asing meraja di Indonesia, tak heran jika semua kaset yang beredar pun ternyata semuanya BAJAKAN. Tak sedikit nama labels yang masih saya ingat, Pramaqua, Aquarius, Blackboard, Atlantic Records, Yes, Team Records. dll.

Bagaimana kondisi musik Indonesia saat itu? Wah jauh dari yang nampak sekarang. Musik Indonesia hanya mampu diterima sekelas dangdut. Sementara yang pop, hanya segelintir musisi yang mampu menembus pasar, sebutlah God Bless, Iwan Fals, Doel Sumbang, Fariz RM, Ikang Fawzi dll. Semua berjuang dan mempertahankan "selera lokal" di negeri ini. Tak kalah pula upaya Radio Prambors membangun musik lokal dengan LCLR (Lomba Cipta Lagu Remaja), dari situlah muncul istilah pop-kreatif.

Musik Pop

Istilah pop-kreatif ini saya rasa hanya ada di Indonesia. Mengapa? karena pada masa itu (80-an) istilah musik pop itu adalah musuh bagi anak-anak remaja saat itu. Musik pop dikuasai peredarannya oleh raksasa labels JK Records. Bermunculanlah penyanyi-penyayi solo yang menyanyikan lagu mendayu-dayu. Sebutlah Nia Daniati, Richie Ricardo, Maya Rumantir, dlsb. Saking eksisnya semua penyanyi itu masuk ke dalam sebutan JK Artist.

Menjadi penyayi merupakan sebuah perjuangan panjang dan melelahkan. Rasanya sulit sekali muncul di pasar musik Indonesia jika tidak membawakan lagu-lagu pop gaya JK Records. Saking meledaknya lagu-lagu sejenis hingga pasar sadar bahwa lagu-lagu yang beredar tersebut sudah mencapai titik jenuh, hingga Menter Penerangan saat itu (Harmoko) mengeluarkan edaran untuk stop membuat "LAGU CENGENG". Istilah ini muncul karena memang semua lagu yang beredar saat itu cengeng semua, Sedih karena diputuskan pacar, sedih karena cinta ditolak, dan seterusnya.

Dalam suasana kejenuhan tersebutlah para sekelompok anak muda berusaha lepas dari kungkungan selera labels yang cuma menyuguhkan "selera pasar". Sebutlah Gank Pegangsaan, lalu Jakarta Rhytm Section, GSP, dll. Bahkan ada beberapa yang "cuek" menyajikan jazz seperti Krakatau, Emerald dll. Semua hadir dan muncul dalam sebuah terobosan yang sangat signifikan.

Masa Transisi Pasar Anak Muda

Memasuki akhir tahun 80-an, musik Indonesia dikuasai oleh musik-musik radikal, yaitu gaya Iwan Fals. Kondisi politik saat itu menjadikan Iwan Fals sebagai tokoh corong suara rakyat. Luapan emosi massa sangat terasa saat mengalunkan lagu-lagu Bang Iwan, saat itulah mulai terasa kehangatan musik Indonesia di negeri sendiri. Bendera, spanduk, baliho, banner, dan banyak atribut lainnya.. semua bertuliskan FALS! FALS! Belum lagi komunitas-komunitas Fals yang bermunculan di banyak gang-gang sempit, daerah kumuh, dan pelosok-pelosok. Megah rasanya melihat kehadiran Bang Iwan dalam sebuah pentas panggung.

Lagu-lagu cengeng, mulai ditinggalkan. Lagu jenis balad lebih diterima. Saat bersamaan bermunculan pula band-band anak muda yang lebih berselera. God Bless muncul dengan menghadirkan gitaris ciamik Eet Syahranie (yang isunya pun dia muridnya Paul Gilberts). God Bless seolah-olah menjadi dukun dahsyat yang menghidupkan kembali mayat "rock" di Indonesia. Kalau musik pop mendapat nafas baru dari LCLR Prambors, maka musik rock mendapatkan nafas segar dari Log Zhellebor, seorang promotor musik rock kenamaan di negeri ini. Lewat labels LOGISS, Oom Log menelurkan banyak sekali band-band rock. Di saat itulah trend pentas panggung band makin laris.

Kehebohan ini makin menjadi semarak ketika Iwan Fals bersama Setiawan Djody meluncurkan group SWAMI dan KANTATA TAKWA. Diikuti dengan penampilan panggung mereka yang super dahsyat! Dengan panggung dan tata lampu kelas internasional, pentas mereka dapat dikatakan sebagai titik kebangkitan musik lokal. Atraksi lampunya pun sudah dahsyat sekali, berikut atraksi laser.

Masa-masa ini adalah catatan awal kebangkitan musik Indonesia. Anak-anak sekolah giat mampir ke studio-studio kecil untuk latihan band membawakan lagu-lagu lokal. Sebut saja lagu andalan mereka : "Semut-Semut Hitam" - God Bless, "Bento" - Swami, "Rock Bergema"- Roxx, dll.

Era MTV

Perjalanan musik Indonesia kian hari kian menancapkan cakarnya ke tanah air. Kehadiran musik Indonesia ini makin diperkuat dengan hadirnya MTV di ANTV. Saat itu lah musik Indonesia mulai masuk ke babak "professional". Musik Indonesia mulai dibiasakan dengan videoklip sebagai materi "marketing"-nya. Kebangkitan musik Indonesia pun ditandai dengan masuknya berbagai labels international, seperti Universal Music, Warner Music, EMI, Sony, dan BMG (dulu belum bergabung). Sejak itulah musik Indonesia mulai bersentuhan dengan prinsip dagang.

Sebagai band, mereka harus berfikir penuh strategi pemasaran. Pembuatan videoklip menjadi sebuah keharusan. Di saat itulah muncul berbagai production house yang khusus menelurkan videoklip band lokal. BDI, Avantgarde, Rexinema menguasai pasar videoklip lokal. Sutradara Rizal Mantovani dan Dimas Jay pun laris manis menguasai pasar videoklip.

MTV men-support dengan memunculkan acara MTV Ampuh (Ajang Musik Pribumi Sepuluh), lewat acara tersebut makin terasa musik-musik Indonesia makin punya kelas di pasaran lokal. DEWA 19 merupakan band yang menjadi benchmark kesuksesan saat itu. Penghargaan demi penghargaan membuktikan bahwa musik Indonesia sudah punya 'value'. MTV pun menganugerahkan Dewa 19 sebagai band terbaiknya. Istilah VJ (Video-Discjockey) pun marak di kalangan anak muda, MTV menjadi sebuah ikon anak muda gaul dan keren. MTV pun memberikan timbal balik dengan memberi sebutan "anak nongkrong" bagi penonton setia MTV. Anak muda dikenalkan dengan VJ yang keren.. Jamie Aditya, Sarah Sechan, Nadya Hutagalung, Donita, dan RAHUL KANA! :). Belum lagi anak muda dikenalkan dengan istilah bumper. MTV selalu memunculkan bumper-bumper unik yang khas anak muda. Saat itulah anak muda makin "liar" dan berani untuk unjuk gigi. Belum lagi media support lainnya seperti majalah dan radio.

Bisnis Musik

Masukalah musik Indonesia ke babak professionalisme. Musisi harus mampu menjadi businessman dalam menganalisa lagu-lagu yang akan diedarkan. Belum lagi strategi pemasaran dan distribusi. Pertimbangan kualitas musik dan sound pun jadi pertimbangan penting. Semua itu rela dibayar mahal demi sebuah profesionalisme. Profesi dalam industri musik ini pun makin berkembang. Ada music director, vocal coach, sound engineer, dll. Belum lagi dalam manajemen band itu sendiri, selain ada manager, ada road manager, ada stylist, ada tim media yang mengurus foto, video, dan web. Semua hidup sebagai sebuah profesionalisme bisnis.

Saat ini, ada berapa banyak musisi Indonesia yang kaya raya hidup bagai bintang dan rockstar? Rumah mewah, mobil sport, wanita, media, bahkan studio rekaman pribadi. Fans club, komunitas, tour, roadshow, dan lain sebagainya sudah menjadi keseharian. Ini merupakan sebuah titik puncak sebagai musisi di negeri sendiri.

Era Ring Back Tone

Penjualan musik di pasar lokal ternyata mampu menghidupkan profesi musisi. Pasar punya nilai tinggi dan musti menjadi pertimbangan strategi sebuah band. Belum lagi kemasan dan nama band yang mulai disikapi lebih berkonsep. Segitupun sudah digerogoti oleh barang bajakan. Bayangkan jika tanpa bajakan, mungkin royalti band bisa lebih dahsyat lagi.

Royalti penjualan CD dan kaset saat ini makin ditambah dengan royalti via RBT (Ring Back Tone) di beberapa mobile phone provider. Tidak heran jika royalti dari RBT ini mampu meraup keuntungan yang lebih besar dari CD dan kaset.

RBT, merupakan media baru pendistribusian musik di Indonesia. Di saat dunia sedang seru dengan MP3, iTunes, dan iPod, Indonesia justru sedang khusuk mengurus RBT. Penjualan lagu via handphone punya nilai yang sangat tinggi. Penjualan cara "ketengan" ini ternyata mampu mendongkrak penjualan album secara keseluruhan.

Market Oriented sebagai Pisau Bermata Ganda

Selama tahun 2004 - 2007 ini, RBT mulai merajai bisnis musik di Indonesia. Nilai jualnya sangat menggiurkan para pengusaha musik dan musisi. Ukuran ini menjadi tolok ukur nilai pasar di masyarakat. Penjualan CD, kaset dan RBT sudah valid dijadikan alat ukur kesuksesan band secara bisnis. Tak heran jika akhirnya musisi dan labels sepakat untuk menelurkan musik "berselera pasar". Pasar suka jenis lagu "mendayu" maka semua band harus bikin lagu jenis mendayu. Ketika memasuki bulan Ramadhan, tidak sedikit pula band-band menelurkan lagu religi. Saat itulah sebuah band berkarya atas kendali pasar (market driven). Strategi pemasaran produk pun diterapkan.

Yang uniknya lagi, konsep market driven ini memunculkan fenomena baru. Ketika sebuah labels punya nilai ukur jual yang berbeda dengan nilai ukur pasar. Ini terjadi pada KANGEN BAND. Saat itu mereka selalu gagal menjual lagu-lagu mereka ke labels, dengan alasan susah laku. Lantas lagu-lagu mereka bocor ke pembajak lagu dan kemudian terjual laris manis. Penjualan yang dahsyat ini membelalak mata pengusaha musik, kontan saja Kangen Band langsung di rekrut oleh Warner Music dan diperlakukan seperti band profesional. Cara yang terbalik ini sangat unik. Artinya pasar bajakan sudah bisa dijadikan ukuran laku tidaknya sebuah band di pasaran (ingat kisah Inul Daratista).

Bagaimana Kangen Band bisa dengan mudah diterima pasar? Mungkinkah jika dikatakan timing mereka saja yang pas? Kelahiran Kangen Band di pasar musik Indonesia itu adalah di saat pasar musik dengan gandrung dengan lagu mendayu "Kenangan Terindah"-nya SamSonS dan lagu-lagunya Ungu?

Jika diperhatikan, jenis lagu tersebut ternyata sedang digemari oleh pasar. Tak heran bermunculan lah band-band dan musisi baru yang melantunkan lagu-lagu berjenis sama. Nadanya nyaris sama.. chord-nya nyaris mirip.. temanya pun gitu-gitu aja.. belakangan saya sadar kalau saya gak bisa bedain antara lagu yang satu dengan lagu yang lain.

Kembali ke selera pasar, ada fenomena unik lainnya. Yaitu sebuah lagu bisa dengan mudah menjadi hits lewat bantuan SINETRON. Sebutlah Letto, yang penjualannya meledak beriringan dengan meledaknya sinetron yang menggunakan lagunya sebagai soundtrack. Kasus ini berbeda dengan Album HEART-ya Melly yang menelurkan album soundtrack ini khusus dibuat untuk film bertajuk sama "Heart".

Hal lain lagi adalah berubahnya "gaya" MTV sejak diambil alih oleh Group Media MNC. Dimana MTV makin hari makin menurun daya kreasi yang khas anak mudanya. Berkurangnya porsi penayangan videoklip di GlobalTV membuat para band mengurangi budget pembuatan videoklip karena dirasa kurang efektif. Apalagi cara marketing lainnya yang lebih efektif bisa dilakukan dengan cara join dengan sinetron tadi.

Bumper-bumper unik gaya MTV sudah mulai hilang, diganti dengan iklan-iklan REG SPASI dan SMS setiap jamnya. Belum lagi iklan murahan seperti alat pengecil perut, pembakar lemak, dan memperbesar payudara. Sangat jauh dari "ciri" dan "selera" MTV yang menyebut pemirsanya "anak nongkrong". Itu semua jauh dari gaya anak nongkrong. Belum lagi gaya VJ MTV yang makin hari makin "terpaksa" musti terlihat humor, asik dan cool. Yang terjadi malah kebalikannya. VJ Hunt MTV nampaknya sudah terlalu terpatok bahwa gaya VJ itu harus kocak seperti Jamie Aditya, liar seperti Sarah Sechan, atau cool gaya Nadya Hutagalung. Alhasil.. yang muncul adalah VJ dengan gaya "look-a-like" semua.

MTV sudah bukan lagi menyajikan gaya anak muda urban. Perlahan-lahan anak-anak muda urban makin mengurangi jatah "nongkrong"-nya di depan MTV. Berganti dengan anak-anak daerah. Tak heran jika belakangan gaya MTV saat ini lebih cocok menjadi tontonan anak muda di daerah-daerah. Apa ukurannya? liat saja siapa yang datang saat acara off-air MTV di gelar.

Penutup

Akankah ini pertanda masa degradasi kreasi musik Indonesia? Bagaimana para musisi harus menghadapi market driven yang sangat kuat ini? Apa yang menjadi pertimbangan para labels dalam mengatur porsi musik untuk diapresiasi dengan musik untuk komoditi?

Banyak musisi yang mulai melakukan konsep artist / band manajemen. Sebagai lembaga independen mereka mencoba melakukan sikap-sikap yang non-market driven. Selain itu scene musik indie di Indonesia nampaknya masih punya power bargaining yang sangat kuat. Jauh dari kendali labels apalagi pasar publik luas. Mereka punya pasar yang kecil namun loyal.

Hal lain adalah dengan adanya label-label kecil yang punya pasar sendiri (captive market) yang kuat sekali, yaitu AKSARA MUSIC. Label ini tetap berani dan bertahan menelurkan musik-musik dan band yang tidak "market oriented". Tak heran jika band-band dari label sejenis ini mampu menawarkan gaya dan jenis musik yang tidak pasaran. Tapi apakah bisa diterima di pasar umum? Saya rasa tidak.. karena itu tadi.. seleranya sudah beda.

Semoga scene musik indie di negara ini tetap hidup (walau oksigennya tidak nambah), semoga label-label kecil berkarakter makin tumbuh subur (walau cuma memanfaatkan ceruk pasar yang kecil), semoga para pengamat musik tetap mengingatkan musisi-musisi agar tidak terjebak dalam pusaran selera pasaran, dan semoga musisi-musisi Indonesia tidak cuma berkarya demi selera dan duit pasaran... tapi juga mampu memberikan nilai bagi khazanah musik di Indonesia.

Astaga... panjang amat!!
Selamat Tahun Baru 2008 MUSIK INDONESIA! :)

(Foto diambil dari http://aparatmati.multiply.com - Arian Seringai)


66 comments:

  1. ini tulisan loe Tulz? Rajin amat! Pasti karena 'studio' nya inspiring ;>

    ReplyDelete
  2. Yoi bos.. bukan karena rajin.. gara2 bete dengerin radio hehehe...

    ReplyDelete
  3. kalo gitu jij mesti dengar album nya Maylaffayza... Will be out in stores next week!

    udah ke blog nya di http://maylaffayza.multiply.com ? Mampir deeh.... ;>

    ReplyDelete
  4. tapi jangan-jangan menjual langsung kepembajak yang membeli putus dengan harga yang lumayan lebih menguntungkan ketimbang ke label profesional, dan menunggu royalti, yang segitu-gitu aja, dan belum tentu laku...sisanya tinggal geber di manggung hehehehe

    kalau bicara selera pasar, yah dari zaman JK udah begitu bukan? dan genre aksara juga mulai rada seragam rasanya, nggak semua, tapi tetep aja buat gw mulai seragam plus album-album importnya...tapi bagusnya tetap jadi ada option aja...kalau mau mencari genre2 aksara-ish

    ReplyDelete
  5. Paul GILBERT maksudnya mungkin? Kalau GilbertS itu yang ada kartun stripnya...

    :BLETAK: itu mah DILBERT

    ReplyDelete
  6. genre jaman ini adalah genre pengamen....
    .....karena semua pengamen terdengar sama apa pun lagunya.....
    ....anyway....lagu-lagu kita menjajah Malaysia lho...bangga dong, bangga!

    ReplyDelete
  7. emang begitu... kuping melayu senang yang mendayu-dayu (cinta melulu - efek rumah kaca)

    ReplyDelete
  8. ck ck ck.. tulisannya keren banget tulz.
    thanks for sharing.

    ReplyDelete
  9. Yasha : Wah mau dong gw dengerin.. bikin klip gak? (halah jualan)
    Nurul : Oh iya.. Gilbert deng.. thanks
    Eko : Jelas bangga sama musik lokal.. tapi juga jangan lupa sama "semangat Malaysia" jangan2 kejadian Pertamina & Petronas bisa menimpa musik Indonesia

    Bdarma : gak tahu pak
    Darma : Terima kasih juga mo baca :D

    ReplyDelete
  10. eniwei... kenapa RAHUL KHANNA loe tulis pake kapital, Tul?
    trus Mike Kaseem & Anu Kottor (eh, bener ga tulisannya?) ga disebut? :p


    trus.. punya tips ga... biyar anak ga ikutan nyanyi lagu ketahuannya Matta? ^^;

    gw ama immy ga pernah nyetel2 atau ikut2an nyanyi
    tapi karena diluar denger lagu itu terus, bernyanyilah dia...
    sementara bapak-ibunya eneg...

    udah dicoba di're-write' pake Koil (hehehehe....)
    tapi ternyata kalo ktmu temen2nya muncul lagi dengan volume lebih kencang... aaaaaarrgghh!! >,<;;

    ReplyDelete
  11. Hahahahaha... ya ya.. gue sempat coba mengingat2 namanya.. untung Yaya ngingetin nama itu. Well seinget gue.. pertama kali MTV tayang di Indonesia itu VJ-nya Rahul Khanna. Hingga sekarang orang banyak yang lupa dengan dia. Mike Kaseem! Yeah dia keren tuh.. anaknya Cassey Kaseem yang host juga. Anu Kottor.. woohoo si seksi!

    Ya ya.. thanks buat reminding lagi :D

    Buat lagu MATTA... ah gimana ya.. lagu ini emang catchy dan enak.. sayangnya (balik lagi) media kita suka overused menggunakan lagu, sehingga yang ada jadi malah annoying

    ReplyDelete
  12. what a nice writing. musik indonesia adalah produk budaya yang paling advance dan mestinya menginspirasi produk2 budaya lain untuk berkembang.

    ReplyDelete
  13. Setuju So.. yang membahayakan kalau musisinya sendiri merasa sudah berada di comfort zone trus lupa "menjaga" kualitas musikalisasinya.

    Kalau melihat film Indonesia (sebagai produk budaya lain) ini kan nyaris berada pada titik stagnan.. yang menurut gua.. industri perfilman Indonesia sudah totally market driven. Semoga dengan adanya Blitz, bisa menjadi alternatif.

    ReplyDelete
  14. just curious tulz,
    1. degradasi kreasi musik indonesia itu cara mengukurnya dari mana yah? apakah dari selera bermusik atau ada yg lain? dan klo seandainya selera, apa memang bisa kita pertandingkan masing2x selera musik, maksudnya selera musik pop lebih jelek dari selera musik indie. selera musik alternativ lebih oke dari heavy metal.

    2. Klo memang selera musik dilihat oleh kapitalis sbg peluang bisnis utk dikembangkan, apakah ini tidak boleh? apakah sesuatu yang bisa "dibisniskan" selalu negatif ?.. bisa saja kan,seandainya band indie ingin didengar isi lagunya oleh lebih banyak orang shg strategi kerjasama mutualisme dng label besar perlu dilakukan. Klo band indie sudah besar namanya, dia bisa memutuskan utk tdk kerjasama lagi [liat aja band favorit gue, radiohead, yang menjual albumnya scr online, free download dng harga sukarela--ternyata omsetnya jauh lebih besar dibandingkan saat bernaung label besar]

    just a thought..:)

    ReplyDelete
  15. 1. Degradasi musik di sini adalah musik sebagai produk budaya, yaitu musik yang diciptakan pengarangnya sebagai sebuah ekspresi berkarya. Contohnya seperti yg gw tulis di atas, Iwan Fals mengarang lagu bukan atas permintaan "selera pasar" tapi justru "menawarkan" rasa baru bagi pasar yang sudah jenuh. Tapi jika hampir kebanyakan musisi hanya memenuhi selera pasar saja, tanpa ada yang memberikan rasa baru.. tentu akan terjadi kejenuhan dalam khazanah musik di Indonesia. Kejadiannya akan berulang seperti jaman JK Records lagi

    Kondisi tersebut tidak berarti buruk atau berarti kehancuran lho.. tapi menurut gua sebagai sebuah kondisi penurunan kualitas. Karena lagu-lagu dibuat bukan karena hasil ekspresi musisi melainkan sebuah produk siap edar buat kebutuhan pasar dan deadline.

    Masalah selera jelas bukan sebuah ukuran hebat tidak hebatnya sebuah lagu. Jika melihat dari sisi itu, jelas saja musik pop selalu menjadi raja, kenapa? Ya karena istilah pop itu sendiri diambil dari musik populer (yang banyak dikenal publik).

    Selama kondisi permusikan di Indonesia terpatok pada selera monoton dan minim pilihan.. sejak itu pula gw sebut degradasi.

    2. Musik sebagai bisnis, tentu tidak negatif. Gw gak bilang gitu koq. Gua memang pernah menulis khusus tentang hal ini. Tapi jika melihat aspek lain dari musik sebagai komoditi (nilai jual) tentu sah-sah saja. Yang menjadi ironi jika musik itu diciptakan HANYA sebagai produk jualan. Istilah jaman dulunya "kacang goreng".

    Sekedar ilustrasi saja : istilah pencipta (lagu) lebih menjelaskan bahwa hasilnya adalah sebuah karya. Sementara istilah pembuat lebih menjelaskan bahwa bendanya hanyalah sebagai produk massal.

    Well ini bukan statement ya :D topik ini sangat diskusif.. gw akan senang koq kalo kita bisa saling share.. any opinions?

    ReplyDelete
  16. Wah, asik tulisannya, Tul. Kayak thesis... :P Gua sekarang udah termasuk ke dalam orang yang tidak update dengan musik2 sekarang karena kurang info or maybe kurang gaul. He he he...

    Anyway, gua juga setuju dengan opini adanya kemiripan antara lagu2 Indonesia yang bermunculan sekarang. To be honest, mukanya juga pda mirip2 lho! Mulai gaya rambut, fashion and even postur tubuh dll.

    Gua juga liat ada band yang di promosiin oleh KFC, dimana lagu2 mereka diputar di restoran fast food tersebut dan juga ada videoclipnya. Ini salah satu pemasaran yang unik juga kalo menurut gua. Tapi gua juga tetep ga bisa ngebedain band mereka dengan band2 yang sudah banyak bermunculan saat ini.

    ReplyDelete
  17. 1&2. Di kapitalisme, kebutuhan itu memang diciptakan. [ini kritik frankfurt school atas kapitalisme]...:)

    tapi gue setuju banget dengan statement loe bhw
    "Selama kondisi permusikan di Indonesia terpatok pada selera monoton dan minim pilihan.. sejak itu pula gw sebut degradasi"

    namun, kapitalisme sendiri punya mekanisme internal utk memperbaiki dirinya agar dirinya tdk merosot. kata habermas, mekanisme itu adalah komunikasi/refleksi manusia. Demikian juga ketika musik sudah "di-industrialisasi" [baca: ikut roda kapitalisme], dia akan memperbaharui dirinya melalui mekanisme komunikasi/refleksi, shg selalu akan ada kreasi baru dalam bermusik..

    jadi degradasi yang loe bilang itu, menurt gue tidak perlu dikuatirkan..

    malah menurut hemat gue, lebih seru melihat bagaimana band indie berinteraksi mensiasati kapitalisme..yah contohnya, kayak band favorit gue, radiohead itu..:)

    salam manis..

    ReplyDelete
  18. Jangan kuatir, Tul... di era menye-menye ini, masih ada kok yang (menurut gw) orisinil:
    - Netral (back to indie label krn nggak mau diatur2 major label kapitalis)
    - Koil (jambu banget nih band... asli, nyandu!)
    - Tani Maju (band indie asal Malang yang asli nendang banget!)
    - Seringai (nuff said)
    - Dll (ada yang mo nambahin?)

    Eh... Efek Rumah Kaca juga asyik tuh, cukup orisinil nggak?

    (Ya Tuhan... semoga diskusi ini nggak berujung ke Ahmad Dhani. Amin...)

    ReplyDelete
  19. Wah gue seneng deh kalo share gini hehehehe...

    Gue setuju koq dengan opini lo.. atau gue salah tulis istilah kali ya? Hmm.. kalo gw boleh ambil contoh yang agak sarkas nih.. kejadian KANGEN BAND. Kenapa banyak sekali musisi yang mencelanya? Katanya kualitas musiknya cemen, murahan, dan kampungan. Tapi mengapa musik mereka bisa laris manis di pasar? Pertanyannya siapa yang musti disalahkan dengan kondisi ini? Seharusnya tidak perlu dimasalahkan.

    Kejadian Kangen Band ini seakan-akan jadi "alarm" supaya insan musik, pengamat, bahkan industri musik sadar bahwa pasar punya kekuatan dalam mengatur produk musik yang musti beredar. Ini tidak jelek tapi bisa jadi kemunduran buat musisi yang gemar berkreasi diluar selera pasar (mainstream). Kalau perlu justru bikin pasar. Contohnya NAIF, saat mereka meluncurkan album apa iya atas selera pasar? Tapi saat ini NAIF sudah berhasil membentuk pasar bahkan style.

    Begitu pun band-band indie.. keep it that way. Dengan begitu mereka akan tetap menjadi wawasan lain musik di Indonesia.

    Oh iya.. gw denger juga tuh Radiohead cabut dari EMI. Masalahnya cuma duit, nilai kontrak yang ditawarkan EMI terlalu kecil buat Tom York dkk. Salahkah? Kapitaliskah? Ya gak gitu juga menilainya.. Radiohead menelurkan lagu-lagunya bukan karena pasar koq.. tapi karena idealis mereka. Kalaupun akhirnya idealis mereka menghasilkan uang berlimpah.. itu namanya berkah! hehehe.. kondisi itu buat gua adalah kondisi idealis dan impian banyak seniman.. gak cuma musisi :D dan Radiohead sukses pada posisi itu

    ReplyDelete
  20. Hai Mi! Iyaalah gw gak khawatir koq.. scene Indie di Indonesia masih solid dan kuat sekali koq.. begitu pun label-label kecil kayak Aksara, Fast Forward (Mariiin.. ngomong dong!), dan banyak sekali band buangan label yang tetap berjaya koq.

    Maliq and The Essential.. masih kuat di ceruknya, White Shoes juga makin mantap.. trus Mocca.. udah go international pula. Seringai.. yang makin garang.. dan ERK.. uuuh gua suka yang satu ini.

    Asik asik :D

    ReplyDelete
  21. dari tulisannya ketauan yang nulis umurnya udah berapa hahaha... yang bagian MTV2 favorit gue tuh mot, secara laki gue ngejejelin mtv mulu dulu tiap hari hahaha

    ReplyDelete
  22. bagooooossss tuull bagoooossssssss judulnya degradasi dan fotonya gue.. :D mana desain t-shirtnyaaaaa?

    ReplyDelete
  23. Lupakan major label, mending tengok wilayah Indie, Tul. Coba denger musisi semacam "Sendal Jepit", "The Miskins" atau "Burgerhill". Masih ada kok pemusik kita yang ngulik dengan kata lain mengandalkan 'content', bukan 'marketing'.

    ReplyDelete
  24. Amel : Huahahahahahahaha..maksuud looooh :P

    Arian : Whauhuahuhauhauhahuaa.. maksudnya... lu part of the HERO getooh! :P

    Victor : Eh ini bukan tulisan tentang curhat gue koq... indie emang OK koq

    ReplyDelete
  25. Kelupaan tulz..jamannya acara TV ROCKET di RCTI era decoder..hehehe...seingat gua itu jamannya video2 klip indonesia yang mulai rada membaik bikin klipnya, udah nggak pake taman dan membelai daun sambil melirik kamera..hehehe..Eranya Rizal Mantovani tuhh..VJnyapun nggak kebayang pada akhirnya bisa gua kenal (Daniel Tumiwa).hehehe..

    ReplyDelete
  26. Gua dulu pernah bikin CD bajakan Bandnya gua..terus gua jual didalem kaum karena kenal dengan salah satu penjual cd bajakannya (ketauan deh suka beli..heheheh)..Eh laku loh, ludess!!kalo itu masuk di indie bukan??hehehe..mungkin sejenis miniatur simulasi penjualan karya musik..hehehe..

    ReplyDelete
  27. (dengan nada suara mirip guru/dosen pembimbing)

    Motul,
    Kamu kelupaan menuliskan era:

    1. Festival musik Asia dengan jagoan2 spt: Harvey Malaiholo, Vina Panduwinata, Hari Mukti, Yopie Latul dll.

    2. Bangkit Sanjaya! hihihi.

    3. "Suara Persaudaraan" dan nyanyi2 keroyokan bintang/musisi tanah air.

    4. Bagaimana kultusnya jaman Chrisye, Guruh, Gank Pegangsaan, Ian Antono dan Achmad Albar yang seriiiiiiing sekali merunut ke Genesis di tahun 70an :)

    5. Keikut sertaan artist/band/musisi tanah air dengan dunia musik internasional. (Kolaborasi dengan James Ingram, Kenny G sampai Desmond Child segala!)

    6. Sisipan2 nama2 tanah air di Soundtrack beberapa Blockbuster Movie.

    kembali ke saya lagi minggu depan, OK?

    ReplyDelete
  28. Kemal : Anjir lu bener banget! Roket Musik Indonesia! hahahaha... ya ya ya sebelum MTV... RCTI punya andil besar pada saat itu lewat Roket Musik... kalau gak salah yang bikin ya BDI itu?

    Diki : betul banget Dik... semua itu perjalanan musik Indonesia koq.. dahsyat ya? hehehehe.. Oh satu lagi.. jangan lupa... ASIA BAGUS! hehehehee.. siapa atuh VJ Jepang gilak?

    ReplyDelete
  29. bikin klip? Boleh....

    Tapi lobby dulu dong GlobalTV supaya nambah slot utk video clip.. he he he

    ReplyDelete
  30. OK, sori atas 'penambahan' di komentar sebelumnya. Sekarang gua akan komentar lebih kepada konteks KEKHAWATIRAN si Motul. :)

    Ya kan, Tul? Lu lagi mengalami 'idle' kan?
    Karena tidak atau belum ada trend baru. Demikian mungkin di Eropa atau Amerika sana.

    Coba, what comes after Brit Pop?
    Radiohead, Oasis, Coldplay, Travis, Keane (kalo yang ini mah wuih mah lah) masih bertahan sampai sekarang NAMUN tidak bisa juga diwakilkan ke dalamsuatu era seperti BritPop, Grunge, Hairband, 80s, Evergreen...

    Karena saat ini orang sangat bebas menentukan genre apa yang menjadi genre-nya sendiri. Tidak mesti musik saja; teknologi, politik, fashion, sex, dll masing2 punya kebebasan (malah liar atau aneh) untuk memiliki 'rumah'nya sendiri.

    Gua rasa label2 di Indonesia sekarang sedang pusing tujuh keliling menunggu wangsit dari Eropa-Amerika sana.

    Mereka belum bisa menemukan prototip Gwen Stefani. Yang dengan sintingnya membuat musik 'parade senja' menjadi sesuatu yang hip dan ngetrend sekali. (Pharell rocks! Timbaland too!) So far memang cuma Gwen yang se-megastar itu.

    Okelah, Gwen (baca: Pharell dan Timbaland juga) mungkin terlalu langit dan bumi jika harus versus dgn Blantika Musik Pop Indonesia.

    Kita kan melayu kan ya? Yang senang sendu, merdu, mendayu. Ini yang membuat Kangen Band laris mampis kemaren itu. Karena pada dasarnya esensi dari selera kita ya begitu.

    Balik ke 'tuduhan' gua bahwa label2 Indonesia sedang menunggu wangsit...

    Pada suatu era, musik Indonesia kenyang sekali dengan sajian tanah airnya. Dewa dengan album "Bintang Lima"-nya. Padi dengan album "Sesuatu Yang Tertunda"-nya. Sheila on 7 dengan "Sephia"-nya. Belum lagi nama2 lain yang kelupaan gua sebutkan pada masa itu.
    Pada jaman itu, semua toko atau Indomaret bergantian memasang lagu2 mereka. Yang menurut penilaian gua pribadi, memang bagus dan memasyarakat seperti layaknya dangdut. (Bahkan band Element dulu pernah punya lagu yang bagus sekali melodinya).

    Entah kenapa, setelah itu.... udah! ilang aja gitu! :)

    Ada sih yang coba2 ngelanjutin. Tapi yang ada suaranya doang dimirip-miripin ama Fadli Padi. Dan memang, pattern musiknya somehow mirip sekali dengan lagu2 Padi. Bukan Dewa! entah kenapa. Walau pun Fadli sebenernya kalo nyari ngemiripin siapaaaa??... hehehe

    Namun entah kenapa tiba2 di ujung dunia sana ada yang namanya Matchbox Twenty. Kebeneran penyanyinya ganteng. Si Rob itu.
    Di Indonesia ada pula cowok (menurut pasar) ganteng seperti itu. Bersama band-nya Peterpan. Pun mungkin era figur rock/pop sudah mulai berganti dan diwakilkan oleh sosok si Rob ini kali ya. Sehingga dengan mudahnya fans2 perempuannya menjerit histeris melihat mereka.

    Entah mereka (musik, tampang, attitude) memang berjodoh atau kebutuhan membuat mereka berjodoh, entahlah. Band ini booming sekali menggantikan kevakuman 'era kenyang' tadi.
    Pada saat itu pula Ian Kasella cs terdongkrak nasibnya. Right timing, although at the second large.

    Demikian juga pasar sedang berjudi dengan Nidji dan ke-Coldplay-annya. Pola yang sama dari fenomena Matchbox tadi. Saat itu Jakarta (ya, jakarta, belum tentu Indonesia) mendapat sosok nyentrik Chris Martin. Kebetulan musiknya memang melodius kayak bijis. Hehehehe. (sedikit tips selera pasar: kasi aja yang melodius! pasti laku di kuping melayu. inget Issabela kan?)

    Nah sekarang apa? Udah ada band dalam kriteria2 di atas?

    Belum ada Tul!... makanya lu gerah sendiri. Hiihihihihihihi...


    ps: gua juga sama resahnya kok ama lu.

    ReplyDelete
  31. Whahahaha.. Thanks Dik! keren keren... :D gue rasa analisa lu bagus tuh... Masalah wangsit.. gua rasa topik bagus tuh buat di kaji lebih dalam. Apa iya label kita butuh wangsit dari Eropa Amerika?

    ReplyDelete
  32. waaah.. musti ngomong ke Harry Tanoe tuh :P

    ReplyDelete
  33. Kita semua akan resah bila musik kita tidak progres. Tidak ada evolusi. Gwen, seperti juga Madonna, sangat sadar akan ini dan mereka berani 'reinventing' themselves.

    Kalo musik begini2 aja, many people in the industry will lose jobs. Ngga perlu sound yg bagus. Ngga perlu video klip yg ciamik nan kreatif karena semua lagu mirip nada dan temanya (semua vido klip akan kelihatan seperti mini-sinetron remaja karena hampir semua temanya relationship dan cengeng). Kalo ngga perlu, berarti ngga perlu ada film director yg handal dong... he he

    Gue tadinya mau menulis komentar yg lebih 'pintar' tapi di atas ada yg nulis pake 'Frankfurt' school segala.... ha ha ha... rasanya kaya' lagi di kampus.. ngga jadi deeeh...

    ReplyDelete
  34. Iya.

    Kalau musik Indonesia tidak berhasil membuat suguhan yang fenomenal seperti era "Badai Pasti Berlalu" atau era yang gua sebut "era kenyang" tadi, rasanya iya, Tul.

    Mereka akan hunting lagi ke luar sana. Dan hunting begini pun tidak gampang kan. Menilik pasar dan mencocokkan selera bukan hal yang gampang.

    Makanya Gwen cs cenderung tidak "do-able" di sini. Karena menghentak/ritmik. Tidak melodius.
    Mungkin Ratu cukup berhasil meramunya menjadi kombinasi fashion yang update (lihat: Gwen). Mulan dengan aksi nakal2 lucu berikut dengan bumbu2 sana-sini. Namun jangan pernah lupa: mereka menyajikan sesuatu yang MELAYUDIUS. Melayu Melodius maksudnya. Hehe.

    Dhani, Maia, Piyu, Eross, Armand, gak kan laku bikin lagu kalo gak Melayudius. Lihat apa yang terjadi pada Padi pasca album yang ada lagu "Kasih Tak Sampai" yang mengiris-iris itu. Apa iya album mereka laku?

    Jadi gua rasa iya.
    Kayak prinsip "IF - THEN" di komputer Basic kali ya:

    100 IF: Musik Indonesia tidak perform = 100 THEN: Go Hunting.
    end if

    ReplyDelete
  35. makanya tul...dengerin dangdut.....

    ReplyDelete
  36. Jepang? maksud loe yang cowok Tul?
    Najib Ali kalee...
    dia itu malaysia atau singapur ya?

    kadang2 masih liat tuh di tv sing....
    klo nggak orangnya, ya namanya aja.. jadi produser
    (btw, kadang2 itu lebih karena gw jarang2 nyetel tipi...)

    ReplyDelete
  37. gue selalu berpikir kalau orang-orang dalam industri itu benar-benar menyukai musik, at least musik mainstream lokal akan jauh lebih bagus. so far, yang gue alami di industri musik, banyak yang tidak terlalu mengerti musik -lebih berat di bisnis- jadi menjualnya juga susah. apapun kalau marketingnya bener, pasti bisa dijual. sama dengan medianya. media musik lokal yang bagus bisa dihitung dengan jari di satu tangan. selebihnya infotainment yang lebih banyak menjual kisah dramatis musisi-musisi. persetan dengan mencerdaskan bangsa, hahaha.

    ReplyDelete
  38. Tulisan bagus Tul, congrats ! kenapa ga submit ke koran, Bisnis Indonesia gitu?

    ReplyDelete
  39. Serius nih Blu? Tapi gw gak tahu caranya juga.. hehehe gimana sih?

    ReplyDelete
  40. bisa gue bantu koq kalo mau coba di submit... di Bisnis Indonesia Minggu?

    ReplyDelete
  41. Wah yang bener Mr? Kalau beneran bisa.. gw akan edit ulang nih.. paling gak gua lengkapi dikit2 hehehe... (semangat)

    ReplyDelete
  42. Kalau begitu, maka "Agen Rahasia" itu mirip "Kangen Band"....

    ReplyDelete
  43. Tapi sayang tul, sudah terpublish disini, biasanya media maunya yg belum pernah di publish. BTW, bikin aja lagi yg mirip2, jgn kelewat panjang, harus dipersingkat kira2 700 kata. Tuh ada yg mau bantu, good luck.

    ReplyDelete
  44. Kurang ajar kangen band..Ikut-ikut!!!!! Padahal bandnya sudah bernama "agen rahasia"!masih ketahuan juga!

    ReplyDelete
  45. SETAN INFOTAINMENT! mulai besok pembantu kos gua dilarang nonton infotainment!gua cekokin SERINGAI!!

    ReplyDelete
  46. Arian : Nah buat hal itu gua gak tahu tuh.. mungkin elu lebih tahu kali.. ayo beberkan! hehehe...

    SHL73 : Kalo ZOOM kumaha?

    Kemal : OOoooaalaaa... pantes! Lu toh ternyata yang memulai gini? Memberikan "angin" buat pembajak lokal sebagai "alternative distributor" wah gak bener lu

    Seblu : iya iya.. bisa nanti gw rubah koq... dulu gw pernah bikin juga kritik MAL terhadap Enjoy Jakarta - di Kompas

    ReplyDelete
  47. Dari OYAS : Ini benar - benar band edan di era 60an!! Asli dari Suroboyo tapi malah tenar di Belanda. (Sayang, orang - orang Indo lebih kenal Jimmy Hendrix daripada band ini.) Lihat aja klipnya, main gitar pake kaki? melodi pake stick drum lewat gitar ? Ini benar - benar BONEK!

    http://www.youtube.com/watch?v=YvC2_nsVJv0

    dari http://menteridesainindonesia.blogspot.com
    -------------------

    Wah Thanks Yas!! :D hehehe.. ajaib

    ReplyDelete
  48. Tambahin info yang dari Oyas barusan , tentang The Tielman Brothers :
    http://indorock.pmouse.nl/tielmanbrothers1.htm

    ReplyDelete
  49. Kuncinya marketing musik di indonesia adalah brainwashing selera publik. kalo lagu lo sering, seriiiinggg bgt berputar di media, dijamin dicari orang.
    misalnya lagu anak2 yg "ini satu!" itu kan ga melodius sama sekali tuh. tapi gencar bgt klipnya :P
    makanya kalo lagu lo udah ditempel ke sinetron pasti bisa booming. promo sinetronnya aja sehari bisa >10x, diiringi si lagu tsb.
    tes aja, lagu2 seringai dijadiin sontrek sinetron, gimana? :D kekekekekkkk...

    ReplyDelete
  50. Iya bener Shan :) ini seperti yang gua sebut contohnya LETTO..
    Tapi herannya, ada beberapa kasus yang gak gitu juga. Kayak misalnya KANGEN BAND, boro-boro muncul di TV atau radio.. tapi distribusi penjualannya meledak.

    Ajaib deh :P

    ReplyDelete
  51. Hehe..secara bisnis yang gelap mata mungkin ini yang terjadi dipelosok bisnis musik indonesia..selama ada pasarnya dan ada yang memfasilitasi ..PASTI DISIKAAT!"..kode etiknya kale yang musti dibenerin dalam bertindak bisnis juga hati nurani...ceileeee..Karena awalnya pasti ide nakal yang hmmm.."ini nih bisa di susupi!..dan eng ing eng..jadi deh dan terjadi!!...

    ReplyDelete
  52. ..tapi selalu diomongin terus kan? bahkan elo juga menulisnya sekilas dan dalam huruf besar semua. bad publicity is still a publicity. ;) kalau dulu band-band jelek didiemin saja bahkan tidak direview, misalnya, pasti hilang. hehehehe.

    ReplyDelete
  53. hmm..mungkin kesimpulannya ada di salahsatu lagu dari efek rumah kaca..

    ReplyDelete
  54. gini ya Mot...
    gw tuh lagi baca..ehhh tiba2 ada berita di tv, konser "beside" di bandung makan korban 10 orang meninggal kemaren malam... jadi tambah enak bacanya!!!!:)

    ReplyDelete
  55. Heheheheheheehe... kacauu luuu Gun :P

    ReplyDelete
  56. AMiIIIEEEENNNNNNNNNNNN!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    ReplyDelete
  57. ringkasan sejarah musik indonesia yg padat, berisi..:)

    ReplyDelete
  58. Saat Prog Rock laku, anak muda berontak dengan Punk. Punk laku, lantas 'dipeluk' oleh Major Label.

    Saat Gangsta Rap digandrungi, minor label memeluk mereka, lantas Majors memeluk Minors.

    Major Label nggak pernah peduli musik apa yang loe mainkan; major label hanya peduli musik lu (telah) laku atau nggak.

    Dus, penerbit musik tidak menentukan selera pasar, Selera pasar menentukan penerbit musik.

    Jangan kompromi terhadap kualitas musik; buktikan kualitas musik!

    [disclaimer: kebetulan suka kadang bermain musik, tapi bukan musisi :p]

    ReplyDelete
  59. Motuuul! Aku membaca ini bertepatan dengan tutupnya Aquarius Dago. Been wanting to write a similar topic.
    Sbg produk musisi 80-90'an, I can really relate to what you write. Pikir2 angkatan kita jadi saksi perubahan yang begitu drastis dan (relatif) cepat ini ya :)

    Good posting!

    ~ D ~

    ReplyDelete
  60. @Dee : iya banget.. ayo dong bikin tulisan, tulisan kamu pasti lebih valid.. selain saksi sejarah kamu juga praktisi yang terlibat di dalamnya, termasuk ikatan label dan saat indie.. aaah pasti seru! :) ayo ayo!!

    ReplyDelete
  61. aahh.. menambah pengetahuan sekali, walaupun telat 2 tahun bacanya...

    ReplyDelete